View Full Version
Kamis, 24 Nov 2016

Jujur Tentang Demokrasi

 

Oleh: Eva Artini

Karena suatu keperluan saya membuka-buka buku pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan kelas sebelas (XI) terbitan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia tahun 2014. Pada halaman 31 buku itu dikatakan bahwa strategi mengatasi ancaman di bidang ideologi dan politik bagi Indonesia mengacu pada standar negara adidaya yaitu Amerika Serikat dan sekutunya. AS mengamanahkan empat hal yang harus dipastikan tertancap kuat dalam negara-negara berkembang seperti Indonesia yaitu demokratisasi, kebebasan, keterbukaan dan hak asasi manusia.

Buku ini tampaknya jujur mengakui akan hegemoni AS terhadap Indonesia. Sebab dikatakan pula bahwa acuan strategi mengatasi ancaman di bidang ideologi dan politik tersebut sepenuhnya diperuntukkan bagi kepentingan AS. Jika suatu negara tidak mengikuti arahan AS, maka negara tersebut akan dianggap musuh bersama bahkan bisa-bisa dianggap sebagai teroris dunia serta akan diberi sanksi berupa embargo dalam segala hal yang dapat menyebabkan kesengsaraan bagi rakyat Indonesia.

Dicontohkan, pernah suatu kali Indonesia diembargo oleh AS dalam hal tidak memberikan suku cadang pesawat F-16 dan bantuan militer lainnya karena dituduh tidak demokratis dan melanggar hak asasi manusia. Tuduhan itupun hanya berlaku bagi negara yang tidak menjadi sekutu AS. Saat sebuah negara menjadi sekutu AS, sebut saja Israel yang membunuhi rakyat Palestina dan menyerang Libanon, tindak tanduknya tetap direstui oleh AS.

Ketika demokrasi diklaim mengusung prinsip suara rakyat bak suara Tuhan, rakyat Indonesia jarang sekali diikuti keinginannya. Rakyat ingin harga-harga kebutuhan pokok terjangkau, yang terjadi justru sebaliknya, harga-harga kebutuhan kian melambung. Ketika rakyat ingin mendapat jaminan pelayanan kesehatan ataupun pendidikan, yang terjadi justru layanan tersebut dikomersilkan

Secara terang benderang diakui bahwa penanaman nilai-nilai demokrasi, kebebasan, keterbukaan dan hak asasi manusia dilakukan oleh Indonesia hanyalah untuk menyenangkan para penjajah. Ini dibuktikan dalam banyak hal. Ketika demokrasi diklaim mengusung prinsip suara rakyat bak suara Tuhan, rakyat Indonesia jarang sekali diikuti keinginannya. Rakyat ingin harga-harga kebutuhan pokok terjangkau, yang terjadi justru sebaliknya, harga-harga kebutuhan kian melambung. Ketika rakyat ingin mendapat jaminan pelayanan kesehatan ataupun pendidikan, yang terjadi justru layanan tersebut dikomersilkan.

Kasus terbaru yang amat mengecewakan mayoritas kaum muslim di Indonesia adalah tentang penistaan agama yang dilakukan oleh Ahok. Mata dan telinga jutaan rakyat Indonesia dengan jelas mendapati bahwa Ahok bersalah telah menuduh al Qur’an surat al Maidah ayat 51 sebagai alat untuk berbohong. Rakyat ingin Ahok diadili, namun pemerintahan demokrasi ini terus saja berkilah, membela sang penjahat.

Demokrasi hanyalah alat bagi barat untuk merampas sumber daya alam Indonesia. Demokrasi hanyalah sarana untuk menyebarluarkan paham-paham sesat semisal LGBT, pluralisme dan lain sebagainya ke negeri-negeri Islam. Demokrasi hanyalah media untuk tetap melanggengkan hegemoni barat di negeri-negeri kaum muslim. Inilah demokrasi. Pertanyaannya, mengapa Indonesia amat takut dengan AS. Kenapa harus mengikuti arahan AS. Bagaimana caranya terlepas dari pengaruh AS.

Kaum muslim generasi pertama telah mencontohkan, ketakutan utama mereka hanyalah kepada Allah swt. Sebaliknya mereka menganggap kecil manusia. Artinya, tak ada di dunia ini yang punya kekuatan terbesar selain Allah swt. Wajarlah Rasulullah saw berani mengirim surat kepada sejumlah pemimpin negara adidaya di zaman itu seperti raja Persia dan Romawi untuk mengajak mereka masuk ke dalam Islam dan tunduk pada pemerintahan Islam.

Bila dihitung jumlah tentara mereka, tentu jauh lebih besar. Namun karena menyebarkan dakwah Islam adalah perintah Allah swt, maka kaum muslim siap menghadapi manusia sekuat apapun dimata sesamanya, demi ketaatan pada Allah swt. Tak jarang negara Islam saat itu menang dalam pertempuran melawan negeri-negeri kufur meski dengan jumlah tentara yang jauh lebih sedikit seperti pada perang badar dan lain sebagainya.

Jadi, kesalahan fatal para pemimpin negeri-negeri Islam hari ini adalah menempatkan ketakutan mereka kepada manusia, yaitu kepada negara adidaya. Mereka juga menempatkan rasa cinta tertinggi pada kesenangan dunia. Mereka lupa jati diri mereka. Mereka tidak berusaha kembali kepada ideologi Islam mereka. Mereka justru menolak dan berusaha menghalang-halangi kebangkitan Islam lewat tegaknya syariah dan Khilafah. Padahal, bergantung sepenuhnya pada Allah swt membentuk mental dan keberanian yang besar untuk menghadapi siapa saja termasuk negara adidaya seperti AS. Visi dan misi hidup pun menjadi jelas, yaitu hidup hanya untuk meraih ridha Allah swt semata.

Bisa dipastikan ketika pada pemimpin negeri-negeri Islam tetap berpasrah diri membebek pada arahan barat, maka mereka akan mendapat kehinaan kelak dihadapan Allah swt, dan dihadapan kaum muslim saat ini mereka pun tak ada harganya. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version