View Full Version
Ahad, 25 Dec 2016

Antara Ruang Sidang Dan Aleppo yang Menangis

Sahabat VOA-Islam...

Jika tanah air tengah diramaikan dengan kasus tangisan tersangka penista agama di sidang pertamanya. Maka tangis pun seharusnya bisa kita dengar dari wilayah nun jauh disana sekaligus kota terbesar kedua di Suriah, Aleppo. Kabar duka tengah melanda kota Aleppo setelah rezim dan sekutunya menguasai seluruh wilayah tersebut. Banyak korban berjatuhan dari warga sipil hingga sebagian muslimah dikabarkan memilih untuk bunuh diri dibandingkan harus menghadapi pemerkosaan oleh tentara rezim yang syiah. 

Mereka yang menangis sebetulnya mengungkapkan kesedihan dan kepedihan yang dirasa serta mengharapkan rasa iba dan simpati. Dan nampak jelas penderitaan kaum muslimin di Aleppo adalah tangisan sebenarnya yang membutuhkan rasa peduli, empati dan simpati dari masyarakat dunia. Sebab warga Aleppo adalah korban kedzaliman rezim Assad bersama para sekutunya seperti komunis Rusia dan Iran.

Warga Aleppo lah yang harusnya menjadi sasaran rasa kasih dan iba kita. Terlebih mereka adalah saudara seaqidah yang tengah berjuang mempertahankan dan melepaskan diri dari pemerintahan lalim yang mengambil orang-orang kafir sebagai sekutunya

Warga Aleppo lah yang harusnya menjadi sasaran rasa kasih dan iba kita. Terlebih mereka adalah saudara seaqidah yang tengah berjuang mempertahankan dan melepaskan diri dari pemerintahan lalim yang mengambil orang-orang kafir sebagai sekutunya. Karena konflik yang terjadi bukanlah perang saudara namun perjuangan untuk membebaskan diri dari sistem kufur. Hal ini bisa kita lihat dari pernyataan juru bicara Hizbut Tahrir Suriah, Hisyam Babayang menegaskan “Sekarang masalahnya telah bergeser dari penggulingan rezim berubah menjadi perubahan rezim, bahkan saat ini telah ada konsensus akan keharusan mendirikan negara Islam di Syam, dan ini salah satu keunikan revolusi Suriah.” (aljazeera.net 12/10/2013)

Karena itu HAM yang biasa dijunjung oleh Barat pun tak terdengar lantang saat berhadapan dengan pembantaian di Suriah. Sebab Barat tidak pernah ridho dan  menghendaki kebangkitan Islam. Bahkan Assad mengakui bahwa Barat lebih mengkhawatirkan ‘teroris’ dibandingkan keselamatan warga Suriah (14/12/16). Artinya siapapun yang memenangkan peperangan di Suriah tidaklah penting selama pemenangnya tetap tunduk pada titah Barat dan kepentingannya. Akibatnya warga sipil pun menjadi korban konflik demi memperebutkan kekuasaan dan menghadang bangkitnya Islam di Suriah.

Di lain pihak kaum muslimin tidak berdaya untuk membantu membebaskan saudara-saudaranya secara total di Aleppo. Sekat-sekat kebangsaan yang terbentuk oleh jargon nasionalisme mematikan langkah para penguasa muslim untuk mengerahkan tentara-tentaranya ke Aleppo. Umat Islam saling terbatas untuk menolong. Sebab seluruh negeri muslim pun tengah carut marut dengan persoalannya masing-masing. Serta menganggap konflik Suriah sebagai masalah kebangsaan yang tidak bisa diintervensi.

Hal ini sesungguhnya merupakan dampak dari tercerai-berainya kaum muslimin setelah runtuhnya Kekhilafahan Turki Utsmani pada tahun 1924 M. Umat tidak lagi memiliki komando yang satu yakni seorang khalifah. Umat hidup di negeri masing-masing atas nama kebangsaan yang meneggelamkan persaudaraan seiman dan lebih mementingkan persoalan negerinya sendiri. Hal ini menyebabkan hilangnya persatuan umat yang berakibat pada lemahnya kekuatan dan izzah Islam. Padahal justru perpecahan internal lah yang dapat menghancurkan kaum muslimin sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sahabat Sa’ad bin Abi Waqqas Ra“

Aku memohon tiga hal kepada Tuhanku (Allah), maka Ia mengkabulkan dua hal dan menolak satu hal: Aku memohon agar Ia tidak membinasakan umatku dengan paceklik (kekeringan), maka Ia mengkabulkannya, dan aku memohon agar Ia tidak membinasakan umatku dengan ditenggelamkan (banjir), maka Ia mengkabulkannya, dan aku memohon agar Ia tidak menjadikan kekuatan mereka menimpa sesama mereka (perpecahan), maka Ia tidak mengkabulkannya.” (HR. Muslim)

Maka alangkah baiknya kita semua melepaskan atribut kebangsaan dan nasionalisme yang sejatinya adalah fanatisme golongan yang diharamkan Allah. Dan sudah seharusnya kaum muslimin bersegera menjemput pertolongan Allah dan memulai langkah nyatanya dengan kembali pada penerapan syariah yakni bersatu dalam satu panji di dalam naungan Daulah Khilafah Rasyidah mengikuti manhaj kenabian.Wawlahu’alam bi ash-shawwab. [syahid/voa-islam.com]

Kiriman Intan Asih Lestari

Aktivis Muslimah Hizbut Tahrir Indonesia


latestnews

View Full Version