View Full Version
Kamis, 24 Aug 2017

Menghentikan Ketergantungan Impor Garam

Oleh: Mimin Nur Diya (Alumni Fakultas Sains dan Teknologi Unair)

Stok garam untuk disuplai ke masyarakat mengalami penurunan. Kelangkaan ini menurut Kementerian Industri dipicu oleh menipisnya bahan baku produksi garam. Di beberapa daerah tambak garam seperti di Lamongan dan Madura, penurunan hasil produksi garam terjadi akibat cuaca yang tidak menentu. Menurut Wakil Gubernur Jatim, target produksi garam yang sebelumnya 1,2 juta ton menjadi 6 ribu ton saja pada bulan Juli. Selain itu ada indikasi petani tidak menjual secara bebas karena harga jual yang murah tidak sesuai harapan mereka.

Pembentukan harga merupakan hasil pertemuan antara permintaan dan penawaran di pasar. Saat permintaan masyarakat akan garam banyak sedangkan jumlah barang yang beredar sedikit, maka harga penawaran pun akan naik. Kelangkaan garam akibat cuaca tidak menentu menjadi alasan pemerintah melakukan impor dengan tujuan memenuhi stok garam dalam negeri agar harga kembali stabil. Pemerintah pun akhirnya menambah kuantitas impor garam dari Australia, karena Australia termasuk negara penghasil garam dengan kualitas terbaik. Sudah enam tahun terakhir Indonesia mengimpor garam dari Australia. Namun kali ini, pemerintah menetapkan target hingga mencapai 75 ribu ton dari negara kanguru tersebut.

Masalah kelangkaan garam pun tidak hanya terjadi kali ini saja, namun sudah sejak tahun 90 an Indonesia mengalami masalah serupa. Dan untuk kesekiankalinya solusi impor diambil pemerintah. Bahkan menurut Menteri Perikanan dan Kelautan, pada tahun 2016 80% garam negeri dipenuhi dari impor.

Kebijakan impor sesungguhnya membawa konsekuensi bagi produsen garam dalam negeri. Selama ini para petani garam menemui kendala berupa ketergantungan terhadap cuaca sehingga produksi mereka sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Hal ini pun berdampak pada kualitas garam yang dihasilkan. Agar diketahui, produksi garam para petani hanya memiliki kandungan NaCl sebesar 92%. Sementara WHO menetapkan standar penetapan kualitas kandungan NaCl yakni sebesar 94% berdasarkan angka kebutuhan gizi manusia.

Kondisi demikian menyebabkan garam produksi petani tidak akan pernah mencapai standar SNI yang ditetapkan pemerintah. Atau dengan kata lain, garam produksi petani selalu akan kalah bersaing dari garam produksi industri yang memasok bahan baku garam dari aktivitas impor. Sebagai contoh, garam yang diimpor pemerintah dari Australia memiliki kadar natrium klorida (NaCl) 97%. Selain itu, tidak efisiennya proses produksi garam dalam negeri mengakibatkan biaya produksi lebih besar. Maka semakin terpuruklah garam dalam negeri, terutama ketika garam impor dengan kualitas lebih baik dan harga lebih murah menyerbu pasar garam dalam negeri. 

Langkah kebijakan melalui impor seringkali ditempuh pemerintah ketika dihadapkan pada kelangkaan produksi pangan, seperti kedelai, beras dll. Alih-alih melakukan optimalisasi produksi dalam negeri dengan memberikan support pada petani lokal, pemerintah justru mengambil langkah pendek dengan melakukan aktivitas impor. Namun jika tidak diimbangi dengan rencana peningkatan kuantitas dan kualitas produksi dalam negeri dapat mengakibatkan goyahnya ketahanan pangan Indonesia.

Rendahnya daya saing produsen dalam negeri menyebabkan keengganan melanjutkan aktivitas produksi. Jika hal ini terjadi maka produksi pangan dalam negeri akan semakin rendah dan akan terdorong untuk melakukan impor terus menerus. Alhasil negara akan bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional. Padahal pangan merupakan kebutuhan pokok. Jika hal ini terus berlangsung dapat menghancurkan ketahanan pangan Indonesia, karena akan mudah disetir oleh negara importir.

Kondisi tersebut sungguh memprihatinkan, mengingat Indonesia adalah negeri maritim yang memiliki garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Kanada. Hal ini menolak alasan bahwa tidak tersedia bahan baku pembuatan garam. Terkait pengaruh cuaca yang tidak menentu  memang di luar kuasa manusia, namun bukan tidak bisa diatasi. Merupakan realitas bahwa para petani Indonesia masih mengelola garam dengan cara manual, sehingga musim pun berpengaruh dalam proses produksi. Namun justru disinilah peran pemerintah dalam meningkatkan kualitas produksi garam dalam negeri diperlukan.

Begitu banyak hasil penelitian dari para intelektual untuk meningkatkan produksi garam. Seperti teknologi produksi garam geomembran yang dapat meningkatkan hasil produksi hingga dua kali lipat. Untuk mengatasi cuaca ada rumah prisma yang tidak bergantung musim. Namun semua ini butuh peran negara yang memiliki semangat meriayah (mengatur urusan) masyarakat. Itulah negara yang memiliki visi besar untuk meraih kemerdekaan hakiki dengan mewujudkan kesejahteraan masyarakat tanpa bergantung pada pihak lain. Itulah negara yang penguasanya memahami bahwa ia mengemban tanggung jawab besar yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Karena itu, ia akan bersungguh-sungguh dalam menjalankan amanahnya serta tidak menyelisihi perintah Allah dan RasulNya.

"Hai orang-orang yang beriman,janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepada kamu sedang kamu mengetahuinya"(Al-Anfal:27).   

"Tidak ada seseorang hamba yang dipercayai Allah kepadanya memimpin rakyatnya kemudian dia mati sedangkan pada hari kematiannya dia menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan Surga kepadanya"(HR.Muslim 4/1797). [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version