View Full Version
Kamis, 24 Aug 2017

Mengadili Slogan Merdeka

Oleh: Muhamad Akbar Ali*

Kumandang proklamasi 17 Agustus 1945 memberi isyarat pada bangsa ini atas terlepasnya dari belenggu penjajahan. Berangsur-angsur menjelang fenomena sakral tersebut terdapat petuah leluhur kepada generasi masa mendatang untuk melanjutkan perjuangan. Perjuangan mengisi kemerdekaan dengan pembangunan. Menata suasana negara dengan keadilan, kesejahteraan, kemakmuran serta keberkahan dari sang Kuasa.

Cita-cita itu merupakan landasan utama dan pokok berdirinya bangsa ini, sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Mengamati kontelasi politik dalam mengisi kemerdekaan sejak rezim Soekarno hingga kepemimpinan Jokowi sangat beraneka ragam versi yang menjadi patron dalam mengemudi, mengarahkan kapal besar negeri ini. Telah menjadi bagian dari dinamika, masing-masing rezim memiliki teropong tersendiri saat memandang jauh ke depan arah pergerakan bangsa ini. Tentunya dalam slogan mereka terdengar tegas bahwa semata-mata demi kejamuan bangsa. Namun anak negeri selalu bertanya. Benarkah pergerakan bangsa menuju pembangunan mengisi kemerdekaan dengan baik sebagaimana yang di suarakan itu?

Keadilan misalnya, kedaulatan, kesejahteraan, rakyat yang makmur, nihilnya konflik sosial. Atau bagaimana dengan Sumber daya negeri ini ?. Fenomena Paradoks Indonesia Rilis oleh data BPS tahun 2017 sekitar 27,77 Juta rakyat Indonesia berada dalam bayang-bayang penyakit kemiskinan. Artinya sebahagian rakyat masih berada dalam keadaan melarat. Ketidakcukupan dalam hal ekonomi. Di bubuhi pula pernyataan wakil rakyat oleh Fadli Zon yang mempertanyakan kevalidan data tersebut. Fakta di lapangan menunjukan jauh lebih banyak rakyat yang mengalami kondisi kekhawatiran ekonomi.

Keadaan ekonomi Indonesia berada dalam ambang batas keprihatian. Angka terbaru yang dirilis oleh Bank Indonesia posisi utang negeri ini tercatat USD 335,3 milliar atau setara Rp. 4.478,9 triliun. Di samping itu semakin membengkaknya besaran bunga dari utang tersebut. Seyogianya dalam kategori pembangunan bangsa yang maju, akan menunjukan keadaan semakin merendahnya kauntitas utang tiap periode, bukan sebaliknya. Sebab akan mempengaruhi jatah pembagunan ekonomi. Selainya pada area sumber daya, kepunyaan negeri ini dalam lilitan asing. Pada bidang minyak dan gas (migas) ada 60 kontraktor asing yang menguasai hampir 90% migas.

Asing juga telah menguasai sektor tanah, dan air. Sektor perkebunan, data yang di lansir oleh Sawit Watch menyebutkan sekitar 50% dari luas areal perkebunan sawit di Indonesia, 7,8 juta hektar berada di tangan asing. Tidak berhenti disitu, asing juga menguasai sektor kakao Indonesia. Produksi kakao Indonesia yang mencapai 700 ribu ton pertahun, sebanyak 75 persen pabrik pengolahanya adalah perusahaan multinasional. Pada sektor saham, cengkraman asing juga amat tinggi.

Menurut data Indonesian Stock Xchange, sekitar 64,3 persen saham dikuasai oleh investor asing. Sektor infrastruktur Indonesia pun tidak ketinggalan dari keganasan asing. Bahkan telah di sapu bersih oleh korporasi tiongkok. Lebih dari itu, asing juga telah menguasai 16 pulau Indonesia. Hal ini di dinyatakan oleh Pusat Data dan Informasi KIARA (Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan) bahwa sebanyak 16 pulau yang dikuasai asing dan tidak bisa diakses tanpa izin di DKI Jakarta, Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Barat dan Kalimantan Barat.

Ditambah dengan lelucon kacau pemimpin yang melakukan korupsi yang mencapai kerugian negara triliunan rupiah. Sebut saja misalnya salah satu kasus, yakni korupsi E-KTP dengan kerugian negara 2,3 Triliun. Kemudian beralih pada keadaan lautan Indonesia yang sangat luas, terhitung 3.554.743,9 km persegi dan dengan garis pantai terpanjang didunia. Namun ironi dan menyedihkan negeri ini harus mendatangkan garam dari Australia. Daratan yang terbentang luas dan subur tetapi kebutuhan beras pun masih juga bergantung pada impor.

Pada fenomena sosial, berbagai kegaduhan terjadi, yang tidak kunjung menemui jalan terpecahkan. Bahkan semakin meruncing. Kasus separatisme, disintegrasi, radikalisme, Islamphobia, penistaan agama, narkoba, seks bebas, kenakalan remaja dan banyak kasus lainya yang tidak kalah dahsyat. Tengah deretan kondisi tersebut, lalu berpidato dengan tegas bahwa para pemimpin negeri ini telah mengisi kemerdekaan dengan baik. Adalah naif gelagat tersebut. Umur 72 tahun Indonesia seharusnya semakin menunjukan cahaya harapan kemajuan yang gradual. Namun kenyataan menunjukan sebaliknya.

Mungkin harus berkaca kembali pada misi leluhur bangsa ini. Seakan-akan ada yang keliru dalam penataan sistem bernegara. Sebab merdeka bukah semata terlepas dari penjajahan fisik, namun pembangunan yang adil, rakyat berkecukupan ekonomi, terpenuhi hak-haknya sebagai warga negara, jauh dari hegemoni asing, serta keberkahan dari Tuhan. Untuk menciptakan kemerdekaan yang hakiki, sebuah keharusan adanya kekuatan semangat besar dan persatuan memperjuangkan cita-cita bangsa, kesadaran yang amat mendalam terhadap persoalan bangsa ini.

Selebihnya upaya solusi permasalahan yanga ada harus menerpa pemikiran setiap individu dan masyarakat atau minimal para penggerak perubahan secara mengakar. Tujuanya menggariskan rel yang lurus dalam pembangunan dan jauh dari pencari kenikmatan semata. Sehingga pada moment besar selain kemerdekaan bukan menjadi seruan slogan merdeka semata. Tetapi penanjakan kelas kebangkitan menuju kemajuan bangsa. [syahid/voa-islam.com]

*Penulis adalah Wakil Ketua Maejelis Permusyawaratan Mahasiswa Universitas Halu Oleo Kendari.


latestnews

View Full Version