View Full Version
Jum'at, 01 Sep 2017

Kemerdekaan yang Hakiki

Oleh: Ummu Rizky (Ibu Rumah Tangga)

Merenungi kata 'Merdeka'

Dua pekan berlalu peringatan hari kemedekaan Indonesia yang sudah diakui menginjak usia 72 tahun. Bila melihat angka 72, tentunya angka tersebut bukanlah usia yg masih muda, tapi usia terebut sudah sangat matang dan tentu pada usia kemerdekaan yang matang tersebut sudah banyak kesejahteraan yang bisa rakyat negeri ini nikmati.

Namun, pada kenyataannya usia kemerdekaan yang diakui sudah menginjak angka renta tersebut, hanyalah kemerdekaan semu. Semu dalam arti kemerdekaan yang tidak benar - benar rakyat negeri ini rasakan dan nikmati. Justru pada kenyataannya, penderitaan lah yang kebanyakan rakyat Indonesia rasakan. Bagaimana tidak, kesulitan dan penderitaan begitu banyak rakyat rasakan.

Kenaikan tarif dasar listrik yang begitu "mencekik" dan yang paling miris, negeri kita yang terkenal dengan sebutan negara maritim justru mengalami kesulitan dalam memperoleh garam dan hal ini ditandai dengan begitu mahalnya harga garam, sampai mengalami kenaikan kurang lebih 300 % (Tiga ratus persen), semula harga garam seribu rupiah, saat ini harga garam mencapai Rp.3000,- (tiga ribu Rupiah).

Parahnya negeri ini mewacanakan akan mengimpor garam, namun kemudian Mentri Kelautan Ibu Susi menemukan produksi garam yang begitu melimpah. Entahlah apa yang terjadi dengan negeri ini, segala hal tersedia tetapi segala hal pula banyak mengimpor dari negara lain. Hal tersebut menandakan adanya sekelompok orang yang memiliki modal yang berkuasa dan mengendalikan negeri ini.

Mafia, yaa sangat pantas mereka kita sebut sebagai mafia. Negeri ini begitu dikuasai oleh mafia dalam berbagai aspek, dan mafia di zaman sekarang sungguh berbeda dengan mafia yang dulu selalu dikaitkan dengan mafioso Itali, yang menggunakan kekuatan senjata untuk menguasai. Kini, mafia lebih lihai dan menggunakan senjata uang, untuk berkuasa bahkan untuk masuk dalam kekuasaan. Maka tak perlu heran jika para mafia tersebut menjadi kebal hukum dan semua aturan di negeri ini tidak berarti bagi mereka. Hukum bisa dibeli itulah negara yang berdasar pada sistem kapitalis sekuler. Dengan faham kebebasan siapapun bisa membeli kepentingan maupun kedudukan dengan uang. Terlebih lagi, para pejabat dan wakil rakyat membutuhkan modal untuk menduduki jabatannya, di sinilah peran mafia terjadi.

Bukti nyata yang paling melekat adanya mafia, selain adanya penumpukan garam yang tidak didistribusikan. Juga adanya praktek reklamasi Teluk Jakarta, kawasan Meikarta, beberapa impor komoditas kebutuhan pokok masyarakat, hingga mendudukan seseorang untuk jabatan politik tertentu tak lepas dari tangan mereka. Termasuk adanya mafia hukum dan perundang -undangan.

 

Kemerdekaan Yang Semu

Melihat kenyatan di atas, naif kiranya ketika masih mengakui bahwa negeri ini sudah merdeka. Pada saat hutang luar negeri semakin menumpuk, bahkan mencapai 4000 Triliyun Rupiah. Apa ini pantas disebut negeri merdeka?

Bahkan menurut BPS, Maret 2017 angka kemiskinan mencapai 27,77 juta (10,64 % dari jumlah total penduduk). Secara jumlah, angka tersebut mengalami kenaikan (Tempo.Co.17/07/2017). Mirisnya angka tersebut juga dengan menyimpulkan bahwa penduduk yang berpenghasilan 11 ribu Rupiah, tidak termasuk masyarakat miskin. Subhanalloh, bagaimana mungkin angka 11 ribu tidak dikategorikan miskin, sedangkan harga garampun sudah mencapai tiga ribu Rupiah, belum lagi kebutuhan pokok yang juga merangkak naik.

Bayangkan, bila angka manipulasi dari BPS tersebut dikoreksi sesuai fakta, maka akan terjadi peningkatan yang cukup signifikan yang akan mempengaruhi grafik jumlah masyarakat miskin di negeri ini.

Di sisi lain, rakyat negeri ini yang memang selalu nerimo. Dengan polosnya tetap saja mengakui dan merayakan kemerdekaan yang mereka yakini sebagai suatu kebenaran. Mereka merayakan dengan berbagai perlombaan dan permainan. Mereka tertawa saat tarik tambang, saat panjat pinang, pada saat yang sama justru barang tambang di negeri ini yang merupakan kekayaan alam yang semestinya dipergunakan untuk kemakmuran rakyat, malah dikuasai oleh asing dan aseng.

Dalam hal ini, rakyat bukanlah sebagai subjek penikmat kemerdekaan, rakyat hanya sebagai objek penderita. Negeri ini sudah "terbeli", ini tentu berjalan sesuai dengan titah para pembelinya. Rakyat diabaikan. Cita-cita bangsa dicampakkan, yang kini terjadi adalah bagaimana memenuhi hasrat dan nafsu para mafia yang terlindungi oleh kekuasaan.

 

Kemerdekaan Hakiki

Setelah menelisik naifnya rakyat negeri ini yang tetap mengakui kemerdekaan bahkan merayakannya, sementara faktanya keterpurukanlah yang terjadi. Untuk itu marilah kita bedah makna kemerdekaan yang hakiki sebenarnya.

Kemerdekaan yang hakiki adalah, ketika rakyat terbebas dari segala penghambaan pada makhkuq dan hanya menghamba pada SANG KHOLIQ. Dan hal itu ditandai dengan berlepas diri dari sistem buatan manusia yang hanya berdasar pada akal dan hawa nafsu semata.

Kemerdekaan hakiki adalah saat rakyat negeri ini yang mayoritas muslim, bebas mentaati perintah dan larangan Tuhannya secara Kaaffah. Tanpa ada larangan ataupun ancaman yang saat ini begitu kentara diberlakukan pada umat Islam. Padahal tidak bisa dipungkiri negeri ini diperjuangkan oleh para ulama bukan hadiah dari asing atau hasil perjuangan dari aseng.
Bahkan Bung Tomo berujar:
"Andai tidak ada kata Takbir, entah dengan kata apa untuk membakar semangat para pemuda negeri ini untuk melawan penjajah"

Kitapun banyak mengenal pahlawan lainnya seperti Pangeran Diponegoro, Imam Bonjol, Teungku Umar dan Cut Nya Dien. Mereka adalah para pejuang Islam, yang membela negeri ini hingga terlepas dari kafir penjajah.

Namun kini, setelah para pejuang Islam berani mati untuk membebaskan diri dari kafir penjajah. Malah para pemegang kekuasaan yang menawarkan negeri ini untuk dijajah. Inilah faktnya terjadi penjajahan gaya baru atau neoimprelialisme. Menjajah bukan lagi dengan senjata, namun menjajah dalam segala aspek, ekonomi, politik bahkan aqidah kita pun mereka jajah.

Muslim di negeri ini terpenjara tidak bisa menjalankan syariat Islam secara kaaffah yang mereka yakini. Bahkan pembungkaman-pembungkaman terjadi di negeri ini terhadap muslim yang notabene merupakan golongan mayoritas.
Mengapa hal tersebut bisa terjadi, karena negeri ini sudah terlepas dari Ridho Ilahi. Ridho Ilahi hanya bisa tercapa dengan diterapkannya syariat Sang Kholiq secara kaaffah.

Padahal bila syariat Islam diterapkan secara kaaffah, maka kemaslahatannya bukan hanya bagi kaum muslim semata, akan tetapi non muslimpun akan menikmatinya, mengapa demikian? Karena Islam adalah Rahmatan Lilalamin dan negeri baldatun thoyyibatun wa robbun ghafur pu akan tercapai, seperti yang ALLOH SWT janjikan dalam surat Al-Araff ayat 96:
Allah SWT berfirman:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَـفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَآءِ وَالْاَرْضِ وَلٰـكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ
"Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan."
(QS. Al-A'raf 7: Ayat 96)

Untuk itu, marilah kita sama - sama memperjuangkan penegakkan Syariat Islam secara Kaafah, agar kemerdekaan hakiki dan Keridhoan dari ALLOH SWT dapat kita raih, bukan hanya di negeri ini tapi kemaslahatan dan keberkahannya meliputi seluruh alam ini, aamiin ya mujiba sailin. Wallohualam bishowab. [syahid/voa-islam.c0m]


latestnews

View Full Version