NARKOBA terus mengrongrong negeri ini. Berita terkait penyalahgunaan narkoba tidak pernah habis-habisnya. Beberapa saat yang lalu kita digegerkan dengan berita beredarnya jajanan yang mengandung narkoba di sekolah-sekolah dasar. Tidak lama kemudian kita mendengar kasus yang terjadi di Kendari Sulawesi Tenggara. Yaitu penyalahgunaan obat-obatan paracetamol, caffein, dan carisoprodal (PCC) yang berujung pada meninggalnya dua orang penggunanya.
Dari sisi pengguna narkotika, Jawa Timur menempati peringkat kedua di Indonesia Setelah DKI Jakarta. Berdasarkan data yang dihimpun Dinas Kesehatan (Dinkes) Jatim dan Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Jatim jumlahnya pengguna narkotika tahun 2017 di kalangan remaja sudah mencapai 238.680 orang atau 27,3 persen dari total pengguna narkoba di Jatim sebanyak 884.000 orang. Diperkirakan, di Jatim terdapat 800 ribu hingga 900 ribu pengguna narkotika aktif. Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Provinsi Jawa Timur Brigjen Pol Fatkhurrahman memperkirakan pengguna tidak aktif narkotika jumlahnya lebih banyak.
Saat ini yang bandar narkotika menyasar golongan pelajar dan mahasiswa. Dalam kasus penyalahgunaan PCC yang menjadi korban adalah anak-anak dibawah umur. Yakni SD, SMP, SMA. PCC pun banyak dijual ke kalangan pelajar dengan harga murah antara Rp. 20.000 - Rp 25.000. Bahkan mereka menempuh cara dengan mencampur narkoba pada jajanan anak sekolah yang biasa di jual di sekolah-sekolah dasar.
Ini adalah kondisi yang sangat memprihatinkan. Apalagi mengingat saat ini Indonesia mengalami Bonus Demografi dengan jumlah penduduk produktif yang lebih banyak dari penduduk non produktif. Jika penduduk usia produktifnya justru terjangkit ‘virus’ narkoba maka apa yang akan terjadi dengan negeri ini nantinya?
Dalam mengatasi permasalahan narkoba yang semakin menunjukkan intensitasnya, Pemerintah Indonesia dengan Dewan Perwakilanan Rakyat sejak tahun 1997 telah mengesahkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika dan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan kedua Undang-undang tersebut, Pemerintah membentuk Badan Koordinasi Narkotika Nasional (BKNN), dengan Keputusan Presiden Nomor 116 Tahun 1999. BKNN adalah suatu Badan Koordinasi penanggulangan narkoba yang kemudian berubah nama menjadi Badan Narkotika Nasional.
Untuk propinsi dan kabupaten dalam menangani permasalahan narkoba, maka dibentuklah Badan Narkotika Propinsi dan Badan Narkotika Kabupaten. Penyuluhan-penyuluhan dan sosialisasi dari badan narkotika kiat digencarkan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan bahaya penyalahgunaan narkoba yang mengancam kehidupan orang banyak.
Surabaya sebagai ibukota propinsi jawa Timur juga telah menerbitkan Peraturan Walikota Surabaya Nomor 65 Tahun 2014 tentang Rencana Aksi Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Daerah Bidang Pencegahan, Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkoba Kota Surabaya. Dalam Peraturan Walikota ini terdapat program pencegahan, program pemberdayaan dan program rehabilitasi.
Program pencegahan yang dilakukan juga merangkul remaja untuk ikut berpartisipasi melakukan pencegahan. Yaitu dengan membentuk tim sebaya, dan membentuk kader anti narkoba. Namun rupanya program pemerintahan pusat dan Surabaya ini kurang bisa mengatasi permasalahan narkoba. Ini bisa dilihat dari tren pengguna narkoba yang terus meningkat tiap tahunnya.
Solusi
Mengurai masalah narkoba di Jawa Timur khususnya dan Indonesia pada umumnya, dapat kita lihat bahwa akar masalahnya adalah dijadikannya sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) sebagai asas. Sekulerisme menjadikan seseorang memandang hidup hanya sekedar mencari kenikmatan dunia semata. Dari sinilah kemudian muncul faham serba boleh yang menjadikan manusia para remaja berlaku seenak hatinya. Tidak lagi memandang pahala-dosa serta halal-haram. Termasuk ketika mengkonsumsi narkoba.
Di sisi lain hukum positif yang ada di Indonesia memposisikan pengguna narkoba sebagai korban bukan sebagi pelaku kriminal. Hal ini semakin membuat pengguna narkoba merasa bebas untuk mengkonsumsi selama dia tidak merugikan orang lain. Hukum juga bersikap lunak kepada pengedar narkoba. Selama ini hukuman mati yang digadang-gadang bisa menimbulkan efek jera bagi pengedar narkoba malah tidak berjalan. Yang ada hanya hukuman kurungan yang sekian lama semakin berkurang dengan adanya amnesty dari pemerintah.
Mengatasi persoalan narkoba ini upaya preventif perlu digalakkan. lni memerlukan dukungan dari berbagai pihak. Mulai dari keluarga, masyarakat dan Negara. Upaya preventif yang bisa digunakan adalah menciptakan suasana ketakwaan di tengah keluarga, masyarakat dan Negara. Mendorong setiap individu menjadikan hidupnya berlandaskan aqidah. Sehingga orang tidak akan terjerumus untuk mengkonsumsi narkoba karena tahu itu adalah hal yang dilarang Allah SWT. Dorongan ketakwaan pula yang akan menjadikan orang tua berusaha menciptakan suasana yang nyaman dan aman di dalam keluarga sehingga anggota keluarga tidak mencari pelampiasan diluar keluarga.
Dari sisi masyarakat, dengan dorongan ketakwaan yang tinggi akan menjadi lingkungan yang kondusif dalam mencegah perbuatan yang dilarang agama termasuk mengkonsumsi narkoba. Negara juga memiliki peran penting dalam mencegah masuk dan beredarnya narkoba di dalam negeri. Selain itu upaya pencegahan dengan memberikan sanksi yang tegas kepada pengguna, pengedar dan produsen narkoba. Dalam Islam pengguna, pengedar, dan produsen narkoba adalah pelaku kriminal yang harus diberi sanksi sesuai dengan tingkat kejahatannya.
Untuk pengguna narkoba yang baru maka akan diobati secara gratis oleh Negara dan diberikan sanksi yang ringan. Namun jika berulang akan diberikan sanksi yang lebih berat. Namun bagi pengedar dan produsen narkoba diberikan sanksi yang berat karena telah membahayakan masyarakat. * Desi Maulia, SKM, pemerhati remaja tinggal di Surabaya, Jawa Timur