View Full Version
Senin, 30 Oct 2017

Pengesahan UU Ormas, Mempertontonkan Kekhawatiran Akut Rezim

Oleh: Purnama

Pada 24 Oktober 2017 lalu, ketok palu DPR terhadap pengesahan UU Ormas No.2 tahun 2017 sukses terlaksana. Ya, sukses bagi mereka yang memang menginginkan UU Ormas tersebut disahkan, dimana sebelumnya diawali dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Ormas No. 2 tahun 2017 tentang Perubahan UU No. 17 tahun 2013.

Sukses adalah bagi mereka yang sudah merasa sangat gatal telinga terhadap aksi-aksi yang terjadi di setiap kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak pro-rakyat. Sukses juga bagi mereka yang merasa kursi kekuasaannya sudah mulai digoyang keras oleh rakyat yang kecewa dengan cara penguasa yang menjalankan pemerintahan secara otoriter (sewenang-wenang).

Bagi mereka yang berkepentingan, memang kesuksesan telah dicapai. Tetapi sesungguhnya, kesuksesan yang terjadi, justru memperlihatkan kekhawatiran  mereka yang akut. Ya, kekhawatiran akut terhadap kebenaran. Kekhawatiran akut mengenai akan munculnya sebuah kekuasaan besar yang selama ini hanya dianggap mimpi.

Maka, upaya melalui pengesahan UU Ormas inilah yang mereka gunakan untuk menutup kecamuk gelisah penguasa, setelah sebelumnya menerbitkan Perppu No. 2 tahun 2017, yang langsung dilanjutkan dengan pencabutan SK serta pembubaran salah satu ormas, yaitu HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) yang konsisten mendakwahkan penerapan Syariat Islam dan penegakan Khilafah, dengan tuduhan sebagai ormas yang kegiatannya bertentangan dengan Pancasila.

Pembubaran dilakukan tanpa melalui proses Pengadilan terlebih dahulu. Bahkan langkah-langkah pembubaran ormas, mencakup Surat Peringatan ke-1, ke-2, atau ke-3 pun tidak diberikan. Dengan alasan proses tersebut, termasuk melalui jalur Pengadilan, terlalu memakan banyak waktu, sementara kondisi sudah sedemikian genting menurut mereka.

Kekhawatiran akut daripada penguasa tersebut bisa kita cermati dengan munculnya poin-poin tambahan yang terdapat dalam Perppu Ormas No. 2 tahun 2017 yang telah sah menjadi UU Ormas tersebut. Yaitu poin dalam penjelasan pasal 59 ayat (4) huruf c (bukan pada pasal utama), yang menyatakan bahwa, "Ajaran yang dimaksud bertentangan dengan Pancasila, yaitu Atheisme dan Komunisme/Marxisme-Lenimisme, serta paham lain yang ingin mengubah/mengganti Pancasila dan UUD 1945." Paham apa yang dimaksud? Mengapa tidak dijelaskan secara rinci?

Jika tidak dirinci, bagaimana menafsirkannya dan siapa yang berhak menafsirkannya? Kemudian juga mengenai poin pada Pasal 60, 61 dan 62 pada Perppu Ormas tersebut, yang bisa kita simpulkan bahwa telah dihilangkannya proses hukum melalui Pengadilan dalam hal pembubaran ormas yang dianggap menyimpang. Seperti inikah rupa dari sebuah negara yang disebut sebagai negara yang berprinsip hukum (rule of law)?

Hal-hal diatas juga cukup memperlihatkan kepada kita bukan? Bahwa hukum yang berasal dari pemikiran manusia, bisa bebas di otak-atik sesuai kepentingan manusia itu sendiri. Tetapi tidak demikian dengan hukum Allah (Syariat Islam). Karena Syariat Islam berasal dari sang khaliq/pencipta, yang tentunya Maha Mengetahui fitrah daripada ciptaan-Nya. Sehingga bukan berdasarkan kepada nafsu dan kepentingan manusia semata. Wallahu'alam. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version