View Full Version
Rabu, 08 Nov 2017

Membuka Kedok Parlemen dan Mekanisme Demokrasi

Oleh : Nurhayati*  

 Tepat tanggal 24 Oktober 2017 ditetapkan perppu no. 2/2017 menjadi UU seolah membuat luka terkhusus umat Islam. Belum disahkan saja Perppu ini telah menghadang opini-opini Islam yang selama ini lantang disuarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. Berdalih karena dakwah yang disampaikan untuk kebaikan negeri ini yang "dinilai" bertentangan dengan Pancasila, seolah mengancam keutuhan negeri. Logika yang tidak masuk akal, HTI menawarkan solusi terbaik untuk negeri ini justru dijegal denganPerppu Ormas sementara para "penjarah" negeri ini dibiarkan bebas melengang. Penyelamat dianggap sebagai ancaman tapi  ancaman sesungguhnya justru tak menjadi masalah besar.

Suara Rakyat vs Suara Kepentingan

Sidang pembahasan Perppu yang awalnya dijadwalkan tanggal 26 Oktober ternyata dimajukan menjadi tanggal 24 November. Dukungan dari tokoh, ormas Islam terhadap penolakan perppu terus mengalir sehingga ditanggal 24/10 itu jutaan ummat Islam dari berbagai penjuru mengadakan aksi damai didepan gedung DPR RI menyuarakan penolakan Perppu. Berbeda dengan suasana diluar, suasana didalam gedung senayan sempat alot dengan sikap dari masing-masing fraksi.

Sidang paripurna yang dipimpin langsung oleh Wakil Ketua DPR RI Fadly Zon sempat diskors dikarenakan lobi-lobi agar fraksi bisa merubah pendiriannya. Namun, voting pun diberlakukan dengan 7 fraksi yang mendukung dan 3 fraksi menolak. Jelas sudah dapat ditebak hasilnya akan seperti apa.

Ya, aksi jutaan ummat ternyata tidak mampu mewakili suara di meja dewan. Jutaan rakyat sekalipun menolak tidak akan sebanding dengan suara di meja dewan perundingan. Dari hal ini, setidaknya dapat dilihat bahwa dewan perwakilan rakyat tidaklah mewakili suara rakyat. Kedaulatan yang katanya ada ditangan rakyat yang menjadi jargon demokrasi di negeri ini ternyata berbanding terbalik dengan kenyataan sebenarnya. Banyak aspirasi rakyat mulai berbagai penolakan terhadap berbagai macam kebijakan negeri ini yang semakin mencekik rakyat namun tidak kunjung mendapatkan solusi terbaik dari pemerintah. Terkhusus oleh para dewan yang dipilih oleh rakyat namun tak jarang kebijakannya justru tidak memihak pada rakyat. Ironi diatas ironi.

Suara rakyat tidak lagi menjadi bahan petimbangan dikarenakan dewan yang terpilih oleh partai tempat ia bernaung justru akan memberikan "kontribusi" terhadap partai pengusungnya. Rakyat hanya dibutuhkan "suaranya"  hanya pada masa pelilihan umum saja tapi tidak dengan kebijakan dan pengambilan keputusan dalam Undang-undang. Pada akhirnya hak-hak rakyat terabaikan.

Kepentingan bukan lagi menjadi landasan bagi para wakil rakyat dalam bekerja. Tidak datang saat sidang dengan berbagai macam alasan yang tidak masuk dalam kategori darurat. Jikapun datang saat sidang ada juga beberapa anggota dewan yang tidur diruangan sidang.Lalu sebenarnya apa tugas para anggota dewan yang telah rakyat "pilih" sebagai representasi rakyat dalam kursi pemerintahan?!

Tiga tahun pemerintahan Jokowi perlu dievaluasi. Kenaikan TDL dalam setahun ini telah naik 3 kali namun diganti dengan redaksi lebih halus oleh pemerintah dengan alasan mencabut subsidinya. Hak asasi manusia semakin terpenjara. Buktinya aksi mahasiswa yang ditengarai menuntut 3 tahun kinerja Jokowi, justru beberapa mahasiswa mendapat perlakuan tidak pantas dari aparat bahkan beberapa masuk bui yang sampai saat ini belum terungkap dengan pasti apa kasus yang membuat mereka belun dibebaskan dari tahanan.

Empat pilar kebebasan dalam demokrasi; kebebasan berpendapat ternyata tidak sesuai dengan realitanya. Hizbut Tahrir yang selama ini lantang menyuarakan kebijakan-kebijakan zalim penguasa yang tidak memihak pada rakyat dibubarkan sepihak tanpa jalur pengadilan. Malah dengan jalan pintas mengeluarkan Perppu yang saat ini sudah menjadi UU.Mahasiswa memprotes kebijakan pemerintah disiksa bahkan ada yang dimasukkan dalam jeruji besi. Mahasiswa yang lantang menyuarakan kebenaran malah mendapat skorsing dari kampusnya. Padahal mahasiswa yang peduli terhadap kesengsaraan rakyat justru malah berhasil menjalankan Tridharma perguruan tinggi.

 

Demokrasi, Sebuah Catatan Kritis

Demokrasi dengan 4 pilar tadi namun tidak sesuai dengan praktiknya. Malah yang mengaku paling demokrasi dan Pancasila sejati justru tega menjual aset-aset negara ini kepada asing dan aseng. Demokrasi yang merupakan produk Barat itu menjadikan kekuasaan berada ditangan rakyat sehingga wakil rakyat pun berhak membuat regulasi dan berbagai macam kebijakan lewat hasil pikiran mereka dengan mengesampingkan aturan dari Maha Pencipta. Sebab tidak ada deal-deal lain aturan mana yang akan dipakai setelah terpilih menjadi anggota dewan. Padahal hak membuat dan menetapkan aturan hanya milik Allah

“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia pemberi keputusan yang paling baik.” (QS. Al An’am :57)

Namun, tidak pada demokrasi, yang menjadi tolak ukurnya adalah suara mayoritas,padahalmayoritas itu belum tentu benar secara mutlak. Kebenaran mutlak hanya dari Allah semata. Segala apapun yang diturunkan Allah adalah final tidak membuka peluang kompromi. Halal dan haram jelas diatur namun demokrasi meniadakan Allah dalam pengambilan setiap peraturan dan kebijakan.

 

Islam Solusi Tuntas Masalah Negeri ini!

Kebijakan-kebijakan dari penguasa yang selama ini tidak pro dengan rakyat telah menjadi bukti bahwarealitas kekuasaan yang didapatkan dari suara rakyat membuat mereka tidak dapat mempertanggung jawabkan apa yang telah diamanahkan dari rakyat. Demokrasi yang menjadikan suara terbanyak sebagai tolak ukur diterimanya satu kebijakan termasuk Perppu ini layak menjadikan demokrasi tidak dapat dijadikan pijakan hukum.

Suara wakil rakyat bukan lagi dari hati nurani rakyat namun dari suara kepentingan partai tempat dia mendapat naungan partai yang mengusungnya.Politik "cari aman" juga tak bisa dihindari. Beberapa fraksi yang menolak dengan catatan terbukti masih mau berkompromi dengan kebijakan zalim penguasa. Demokrasi lah yang melanggengkan kekuasaan semacam ini. Apakah Islam mampu diterapkan pada sistem demokrasi saat ini?

Sistem Islam adalah yang menjadikan Al-Quran dan As-Sunnah sebagai sumber aturan hidup manusia tanpa terkecuali. Tidak ada zona kompromi yang dari segi peraturannya menafikkan keberadaan Sang Pencipta dari kehidupan manusia didunia. Yang mana Islam dipakai pada aktivitas ibadah ritual semata. Shalat, puasa, zakat, dan haji saja. Padahal konsekuensi dari syahadat seorang Muslim adalah mengakui Allah sebagai Pencipta berarti harus mengakui Allah sebagai pembuat dan yang menetapkan aturan baginyam. Islam lah yang menjadikan halal haram sebagai standar dalam perbuatan.

Akidah Islam yang shahih menjadi pondasi dasar kehidupan menjadikan setiap orang yang menganutnya menjadi sadar akan keberadaan dirinya dimuka bumi sebagai hamba Allah yang senantiasa terikat oleh aturan Islam.Sehingga penguasa sekalipun tidak akan menyalahi Islam dan mengabaikan jeritan hati rakyatnya. Sebab mereka tahu bahwa Allah membiarkan ia hidup kedunia dengan membawa misi besar yakni ibadah kepada Allah lalu setiap perbuatannya akan dimintai pertanggung jawaban di yaumil akhir nanti. WalLahu a’lam bi ash-shawab. (riafariana/voa-islam.com)

*Anggota Komunitas Muslimah Media Kendari

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version