View Full Version
Jum'at, 22 Dec 2017

Bencana, Diratapi atau Diatasi?

 
Sahabat VOA-Islam...
 
Akhir tahun 2017, Indonesia dirundung musibah. Berbagai bencana alam seperti banjir, gunung meletus, gempa terjadi hampir bersamaan di negeri ini.
 
Dalam pandangan Islam, setiap bencana yang terjadi baik murni dari alam atau karena ulah manusia, semua adalah qodho dari Allah SWT. Pasti ada hikmah dan berkah di balik setiap musibah. Terlepas apakah manusia memandang ada kebaikan atau keburukan dalam musibah tadi. Termasuk berkaitan dengan kerugian yang diderita dan korban yang ada, tidak boleh sedikitpun menyalahkan Sang Khaliq. 
 
Namun, di sisi lain, sebagai khalifatul fil ardh, manusia dibekali Allah SWT dengan akal. Yang dengannya bisa lahir teknologi seiring kemajuan zaman. Karenanya, manusia pun diminta untuk berikhtiar agar siap dan tangguh dalam menghadapi bencana. Baik menyelamatkan diri maupun makhluk yang lain. 
 
Dalam manajemen bencana, ada 3 (tiga) bentuk kebijakan yang bisa dijalankan. 
 
Pertama, pra bencana. Meliputi:
 
1.  Pemetaan wilayah rawan bencana dan segenap potensi wilayah yang ada
2.  Edukasi. Pembekalan kepada warga sekitar tentang keimanan, life skill dan kemampuan life saving agar mampu melakukan penanganan sambil menunggu bantuan datang. 
3.   Pembentukan tim khusus tanggap bencana
4. Pembangunan sarana-sarana untuk mencegah bencana misalnya bendungan, kanal dll
5.   Menyediakan anggaran tanpa batas demi keselamatan warga
 
Kedua, saat terjadi bencana. Prinsipnya adalah meminimalkan korban dan kerugian yang terjadi. 
 
1. Evakuasi korban. Dengan menerjunkan tim khusus, baik tenaga kesehatan, transportasi, tim SAR dll utk mencari korban dan menyelamatkan korban. Korban yang meninggal, diberikan haknya untuk dimakamkan dengan layak. 
2. Penanganan di tempat pengungsian. baik kesehatan, logistik, transportasi dll
3. evakuasi material dari bencana yang terjadi. Misal lumpur, lahar dll. 
 
Ketiga, pasca bencana. Prinsipnya adalah recovery (pemulihan).
 
1. Recovery korban. Meliputi recovery mental dan fisik. Diberikan penguatan pemahaman terkait bencana dan dampak dari bencana. Sehingga korban tidak mengalami keterpurukan dan putus asa pasca bencana. 
2. Recovery sarana fisik. Rumah, jembatan, rumah sakit, sekolah dan sarana vital lainnya dibangun secepatnya menggunakan anggaran tanpa batas. 
 
Inilah yang juga dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab r.a ketika menghadapi musibah berupa datangnya musim paceklik di jazirah Arab. 
 
Pada saat itu, orang-orang mendatangi Kota Madinah–pusat pemerintahan Khilafah Islamiyah—untuk meminta bantuan pangan. Khalifah Umar bin Khaththab ra segera membentuk tim yang terdiri dari beberapa orang sahabat, seperti Yazid bin Ukhtinnamur, Abdurrahman bin al-Qari, Miswar bin Makhramah, dan Abdullah bin Uthbah bin Mas’ud ra. 
 
Setiap hari, keempat orang sahabat yang mulia ini melaporkan seluruh kegiatan mereka kepada Umar bin Khaththab ra, sekaligus merancang apa yang akan dilakukan besok harinya. Umar bin Khaththab ra menempatkan mereka di perbatasan Kota Madinah dan memerintahkan mereka untuk menghitung orang-orang yang memasuki Kota Madinah.  Jumlah pengungsi yang mereka catat jumlahnya terus meningkat.
 
Pada suatu hari, jumlah orang yang makan di rumah Khalifah Umar bin Khaththab ra berjumlah 10 ribu  orang, sedangkan orang yang tidak hadir di rumahnya, diperkirakan berjumlah 50 ribu orang.   Pengungsi-pengungsi itu tinggal di Kota Madinah selama musim paceklik. Dan selama itu pula mereka mendapatkan pelayanan yang terbaik dari Khalifah Umar bin Khaththab ra.
 
Setelah musim paceklik berakhir, Umar bin Khaththab ra memerintahkan agar pengungsi-pengungsi itu diantarkan kembali di kampung halamannya masing-masing.  Setiap pengungsi dan keluarganya dibekali dengan bahan makanan dan akomodasi lainnya, sehingga mereka kembali ke kampung halamannya dengan tenang dan penuh kegembiraan.
 
Inilah cerminan seorang pemimpin dengan mental ro'in (pelayan rakyat) dan junnah (perisai). Yakni seorang khalifah yang memimpin kekhalifahan, dimana sistem Islam dengan seluruh syariatNya diterapkan. 
 
Pemerintah menjadi garda pertama dan utama dalam penanganan bencana. Karena pemerintah memiliki segala yang dibutuhkan, baik anggaran, personal, alat-alat dll. Bantuan dari masyarakat sekitar sifatnya hanya melengkapi. Berbeda halnya dengan kondisi saat ini, dimana pemerintah lebih bersifat "menunggu", sehingga bantuan utama dan pertama justru datang dari LSM atau warga sekitar. Tentu dengan anggaran seadanya. Seharusnya pemerintah mengembalikan fungsinya sebagai pengayom warganya. Bukan malah melepas tanggung jawab dan menyerahkan semua ke masyarakat.
 
Karenanya, adanya musibah beruntun ini hendaknya menjadi bentuk muhasabah diri, masyarakat bahkan negara ini. Untuk kembali berbenah dan kembali menjadi khalifah fil 'ardh dengan menerapkan syariatNya di bumi. Sehingga terwujudlah rahmatan lil 'alamiin. [syahid/voa-islam.com]
 
dr. Tuti Rahmayani,  Praktisi Kesehatan di Surabaya

latestnews

View Full Version