View Full Version
Kamis, 28 Dec 2017

Elektabilitas Capres, Permainan Opini untuk Menipu Umat

Oleh: Rita Handayani (Pengamat Kebijakan Publik)

Survei Elektabilitas capres adalah upaya untuk membuat masyarakat percaya terhadap propaganda. Buah hasil didikan sistem sekular-kapitalis membentuk pribadi jumawa lagi serakah, menghalalkan segala cara untuk tetap menancapkan dominasi serta memuaskan syahwat kekuasaannya.

Masyarakat yang cerdas tidak akan mudah terpengaruh propaganda. Karena, faktanya dilapangan berbanding terbalik dengan apa yang tertera dalam survei tersebut.

Penting untuk selalu mencerdaskan masyarakat tentang kriteria kepemimpinan dan sistem kepemimpinan dalam islam. Dimana kepemimpinan memegang peranan penting dalam ruang lingkup hidup manusia. Begitu pula dalam Islam, kepemimpinan yang mewujud dalam bentuk kekuasaan sebuah negara, merupakan penjaga agar pondasi (Islam) tetap tegak (aturannya) dalam kehidupan.

Sebagaimana Imam al-Ghazali menyebut, Islam dan kepemimpinan bagai dua saudara kembar. Islam menjadi pondasi kehidupan, sedangkan kepemimpinan ibarat penjaga (pengawal)-nya. Tanpa kekuasaan Islam akan lenyap.

Dalam Islam seorang pemimpin negara atau penguasa harus memenuhi tujuh kriteria. Yakni, muslim, laki-laki, baligh, berakal, adil, merdeka dan mampu. Keberadaannya merupakan syarat mutlak bagi seorang penguasa. Jika salah satu dari ketujuh kriteria ini tidak terpenuhi maka secara syar'i tidak sah kepemimpinannya dalam Islam.

Dengan sangat tegas Al-qur'an melarang kaum muslim untuk menjadikan orang kafir pemimpin mereka. "Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali" (TQS ali-Imran: 28).

Laki-laki adalah syarat selanjutnya menjadi pemimpin negara. Haram kepemimpinan umat dipikul oleh seorang wanita. Bahkan Rasulullah SAW bersabda:
"Tidak akan pernah beruntung suatu kaum yang menyerahkan urusan pemerintahan mereka kepada perempuan.” (HR al-Bukhari dari Abi Bakrah).

Baligh dan berakal merupakan syarat taklif, syarat sah dan tidaknya tindakan hukum, demikianlah Nabi SAW menegaskan. Jika pemimpin tidak memiliki hak untuk melakukan tindakan hukum bagaimana bisa dia memimpin urusan rakyat. Syarat baligh dan berakal pula diperlukan agar seorang pemimpin mampu mengendalikan roda kepemimpinan dan mengemban tanggungjawab. Sebagaimana firman Allah dalam QS an-Nisa ayat 83.

Pemimpin negara juga tentulah harus seorang yang amanah lagi adil, dalam memutuskan suatu perkara ditengah-tengah umat. Tidak berat sebelah, juga tidak pandang bulu, apapun ras, suku, maupun agamanya. Sebagaimana yang tersirat dalam firman Allah:

"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat." (TQS. an-Nisa’: 58)

Merdeka dan mampu juga bagian dari syarat mutlak untuk menjadi pemimpin negara. Karenanya orang yang dikendalikan oleh pihak lain, baikoleh negara asing, kroni, cukong maupun parpol pendukungnya. Pada hakikatnya adalah orang yang tidak merdeka secara penuh. Sebab pemikiran dan hasil kebijakannya akan tergadai kepada pihak yang mengendalikan dirinya.

Ia akan menjadi pemimpin yang lemah dan tidak akan mampu independen dalam melakukan tindakan hukum. Padahal kekuatan kepemimpinan merupakan kriteria yang sangat penting. Ketika Abu Dzar meminta amanah kepemimpinan, Nabi saw. menolak sambil memberi nasihat:

"Abu Dzar, sungguh engkau lemah, sementara jabatan/kekuasaan itu adalah amanah serta bisa menjadi kerugian dan penyesalan pada Hari Kiamat; kecuali bagi orang yang mengambil amanah kekuasaan itu dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya.” (HR Muslim).

Pemimpin yang harus dipilih bukanlah sosok orang yang haus jabatan, melakukan segala cara untuk memenuhi syahwat kekuasaan, hingga menyuap sejumlah pihak agar ia dipilih, membuat framing pencitraan, menebarkan isu dan hoax, menjelek-jelekan orang lain, melakukan intimidasi, menggunakan aparatur, iming-iming dalam segala bentuk, memainkan opini untuk menipu umat dan segala cara lainnya, agar bisa menjadi penguasa.

Hal demikian justru menunjukkan dirinya tidak layak menjadi pemimpin. Pemimpin seperti ini akan sangat mungkin menipu dan mengkhianati rakyatnya. Padahal Nabi saw. telah mencela pemimpin yang menipu dan mengkhianati rakyatnya:

"Setiap pengkhianat diberi panji pada Hari Kiamat yang diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya daripada pemimpin masyarakat (penguasa)". (HR Muslim, Ahmad, Abu ‘Awanah dan Abu Ya’la).

Sejumlah pendapat mengatakan bahwa dianggap telah melakukan suatu pengkhianatan terhadap agama apabila diangkat seorang pemimpin yang tidak layak. Kelayakan seorang pemimpin tidak akan didapat dalam iklim demokrasi-kapitalis maupun iklim sosialis-komunis. Karena dia tidak akan menerapkan qur'an dan sunnah, bahkan bicara saja tidak berani.

Maka seorang pemimpin haruslah mampu meneruskan cara kepemimpinan nabi yakni menerapkan al-Qur'an dan as-Sunnah menjadikan hukum syara' sebagai hukum negara. Sebagaimana firman Allah SWT:

"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri (pemimpin) di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya" (QS an Nisaa : 59).

Penting untuk diingat, pemimipin dalam Islam mempunyai dua tugas pokok yaitu: menerapkan syariah dan mengurusi urusan rakyat. Jika tugas yang pertama terpenuhi maka tugas yang kedua akan mudah diwujudkan. Namun tugas menerapkan syariah tidak akan mungkin terealisasi jika si pemimpin sekular-liberal, phobia pada Islam, apalagi kafir. Tugas ini hanya bisa diemban oleh muslim yang bertakwa. Inilah pemimpin terbaik yang dirindu dan dicintai rakyatnya, sebagaimana sabda rasul SAW:

"Pemimpin kalian yang terbaik adalah yang kalian cintai dan dia mencintai kalian, juga yang kalian doakan dan dia mendoakan kalian. Pemimpin kalian yang terburuk adalah yang kalian benci dan dia membenci kalian, juga yang kalian laknat dan dia melaknat kalian" (HR Muslim).

Dan ini hanya bisa terealisasi dalam sistem Islam. Yakni Kekhilafahan rasyidah ala minhajinnubuwah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version