View Full Version
Jum'at, 26 Jan 2018

Tak Sekedar Bahasa Padang Pasir

Oleh: Ainur Rosyidah, SM

(Pemerhati Generasi, Anggota Komunitas Menulis Revowriter)

Pernah ada suatu kisah jamaah haji negri kita tercinta, ketika pramugari d dalam pesawat sedang memberikan himbauan dengan bahasa padang pasir (red: bahasa arab), ia pun menengadahkan tangannya dan melihat ke atas, ia fikir sang pramugari sedang memimpin berdoa menuju pemberangkatan. Pernah juga ada seorang yang bermimpi melihat hajar aswad dan sangat menggebu-gebu dalam menceritakannya, ketika ditanya hajar aswadnya warna apa?

Ia menjawab warna putih, padahal hajar aswad sendiri artinya batu hitam (اسود=hitam). Alangkah lucunya negri ini. Boro-boro memahami perkataan orang arab, membaca tulisan arab yang sudah berharokat saja mash banyak yang belum mampu. Data BPS pada 2015 lalu mencatat masyarakat muslim yang bisa membaca AlQuran hanya 54% (jawapos.com).

Padahal nyawa dari Islam sendri adalah Al Quran dan As Sunnah. Jika membacanya saja tidak bisa, bagaimana menterjemahkan? Bagaimana pula bisa memahami makna dan pengaplikasiannya dalam kehidupan? Belum lagi dengan tugas untuk mengajarkan islam untuk berdakwah, apakah bisa? Maka sangat wajar sekali jika kita melihat banyak keterpurukan umat islam yang sangat jauh dari pengamalan ajaran-ajaran islam yang mulia ini.

Kaum muslimin dengan sangat mudah dibohongi dengan definisi-definisi yang salah baik tentang jihad, solat, adzan, doa, daulah, khilafah bahkan sampai bahasan banci yang sedang kekinian dikemas dengan bahasa arab yang salah penempatan oleh para pengemban liberalisme yang sangat rawan membuat kaum muslim semakin jauh dari Islam. Kaum muslimpun dengan mudah percaya dan menyebabkn Islamophobia. Ketika sudah ketakutan dengan Islam maka apakah akan semangat mempelelajari Islam? Tentu tidak.

Ditambah lagi way of life yang sangat dominan sekarang adalah cara pandang sekuler sehingga bahasa inggris lebih diminati dan cara pandang matrealisme membuat orang tidak merasa membutuhkan bahasa padang pasir untuk tujuan matrealistiknya. Dengan itu generasi muda muslim mudah untuk diajak kepada budaya hedonis, transaksi riba dan lebih jauh lagi penguasaan wilayah kaum muslimin oleh para kapitalis. Habislah kehormatan generasi dn wilayah kaum muslimin oleh para penajajah gaya baru.

Mungkin masih umum dalam benak masyarakat, bahwa kegemilangan masa lampau adalah perjalanan sejarah yang senantiasa berubah dan cukup diketahui sebagai sejarah. Namun bagi kalangan yang mmiliki pandangan perubahan ia tak cukup memandang sejarah hanya aspek berlalunya waktu dan peristiwa, namun ia memandangnya sebagai "jas merah almamater" yang tak boleh dilupakan. Sejarah bagaikan kaca spion yang kita sedikit-sedikit perlu melihat agar tak tertabrak pada sesuatu yang membahayakan disamping ia perlu mengenali betul medannya seperti apa.

Sejarah mencatat kemunduran islam dimasa lampau salah satunya disebabkan karena kaum muslim meremehkan mempelajari bahasa arab. Hal ini dikarenakan penduduk daulah diluar bangsa arab dilenakan dengan banyaknya cendekiawan muslim yang siap menjadi rujukan umat dimanapun dan kapanpun. Karena keterlenaan itu penduduk Daulah Khilafah masa lalu sejak abad ke 7H sedikit demi sedikit tidak mementingkan belajar bahasa arab lebih untuk memahami Al Quran dan As Sunnah sebagai rujukan utama kaum muslim.

Dari generasi ke genarasi kelalaian kaum muslimin terhadap bahasa arab ternyta berdampak besar terhadap kemunduran Islam saat itu. Dimana sebelumnya masih banyak mujtahid yang muncul dari pemuda daulah, kini yang lebih banyak adalah muqalid (pengikut) sehingga lebih meruncing pada madzhab-madzhab dan memperdebatkan perselisihan. Generasi muslimpun tidak banyak yang melakukan aktifitas ijtihad (penggalian hukum) namun lebih banyak melakukan pensyarahan untuk mempermudah bagi pembelajar-pembelajar pemula.

Sehingga temuan- temuan hukum baru sedikit pada saat itu. Di saat yang sama kemunduran berfikir kaum muslimin dibarengi dengan infiltrasi budaya asing yang masuk ke dalam tubuh daulah dan mempengaruhi pergeseran pandangan kaum muslimin saat itu yang semakin menjauhkan dari syariat Islam dan terlepasnya bagian-bagian negara daulah. Hingga pada puncaknya keruntuhan khilafah pada tahun 1924.

 

Bangkit Mendalami Bahasa Arab untuk Menerapkan Syariat

Begitulah sejarah mencatat faktor internal kaum muslim yg telah jauh tak mengenali agamanya sendiri karena tak faham dengan bahasa arab. Kini kaum muslimin harus tersadar dari tidur panjangnya melwan kemalasan terhdap penguasaan bahasa arab. Tentu ini bukanlah masalah basic namun tidak akan mampu kaum muslimin menilai fakta dengan sangat dalam tanpa melalui dulu gerbang ilmu yaitu bahasa wa bil khusus bahasa arab.

Dimana nantinya untuk mencapai suatu kesimpulan hukum harus melewati serangkaian ilmu seperti ushul fiqh, ulumul quran, ulumul hadits, ababun nuzul, asbabul wurud, dan serangkaian proses ilmu alat lain yang sarat dengan kemampuan bahasa arab.Problematika umat sangat menunggu para alim ulama untuk memecahkannya, dan dari orang-orang yang memiliki kapabilitas dalam ilmu alatlah yang memiliki tiket untuk melakukan pendalaman fakta dan dalil-dalil syara'.

Mempelajarinya tak berhenti hanya untuk kekayaan ilmu semata namun dengan proses penggalian hukum tentu diharapkan bisa  terselesaikn problematika umat, sehingga tak ada kata bosan dalam belajar bahasa arab dan tak ada kata buntu dalam menghafalkan nadzoman kitab-kitab nahwu, karena dengannya ia bisa membawa kunci untuk membuka karya-karya para ulama mukhtabar dan mnyelami samudra ilmu yang telah diwariskan para ulama terdahulu.

Dan yang terpenting adalah penerapan dari kesimpulan hukum-hukum yang telah ia temukan agar syariat Allah membumi terterapkan sempurna diatas bumi. Dengan begitu belajar bajsa arab adalah untuk membangkitkan kaum muslimin yang kini sedang tertidur panjang.

Arab memang bukan representasi Islam, namun Islam tak bisa lepas dari bahasa arab. Ketika Daulah Islam tegak maka bahasa arab adalah bahasa pemersatu, dengan bahasa itulah berbagai suku bisa berkomunikasi dan dengan bahasa arab pula kaum muslimin lebih mudah dalam memahami ungkapan-ungkapan syariat dan apa yang diinginkan Allah terhadap manusia.

Dengan mengenali penuh maqosid (tujuan) kehidupan manusia yang terpancar dari Al Quran dan As-sunah maka kebangkitan hidup akan  di dapatkan, kaum muslimin tak lagi menjadi mangsa-mangsa para syaithon berwujud penjajah. Wallahua'lam bishowwab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version