Oleh: Endang W
Situasi politik menjelang pemilihan kepala daerah serentak pada 27 Juni 2018 dan Pemilihan Umum 2019 diwarnai dengan berbagai macam pemberitaan yang berbau politis. Bagaimana tidak, bisa kita lihat kasus penyerangan terhadap sejumlah pemuka agama.
Baik tokoh agama muslim ataupun non muslim pun menjadi korban. Di dalam era demokrasi seperti sekarang ini, tidak ada yang tidak bisa dilakukan demi meraih kepentingan. Segala macam cara dihalalkan. Sebab, dalam kontestasi pilkada, pendukung akan menggunakan cara-cara bermuatan suku ras dan agama untuk memecah belah masyarakat di akar rumput.
Salah satu tragedi penyerangan tokoh agama yang terjadi di Sleman, Jogjakarta misalnya, masyarakat jogja pada umumnya merasa hal ini adalah perkara yang serius untuk bisa segera diusut dan ditangani. Sebagian elemen masyarakat di Jogja merasa tidak puas dg keputusan Sultan Hamengku Buwono IX dalam mengatasi isu-isu intoleran yang terjadi di sana. Isu intoleran kembali mencuat tahun ini.
Ketika gelombang intoleran semakin hari semakin nampak di beberapa daerah maka hal ini menunjukkan akan ada "drama" baru untuk memojokkan Islam. Bagaimana mungkin? Jelas, ketika penyerangan itu terjadi di kalangan non muslim seketika isu intoleran muncul, tetapi sebaliknya ketika penyerangan itu menimpa kaum muslim bahkan ulama sekalipun tidak ada wacana intoleran terhadap Islam dan kaum muslim. Sungguh kaum muslim di Indonesia adalah mayoritas tetapi berasa minoritas.
Mencuatnya isu intoleran juga merupakan upaya untuk bisa menggiring opini masyarakat terkait dengan kepemimpinan. Dengan adanya pwmberitaan penyerangan yang dilakukan oleh orang Islam, akan memunculkan stigma negatif di kalangan umat Islam sendiri. Kaum Muslim akan menganggap bahwa seorang muslim tidak layak menjadi pemimpin. Bagaimana bisa memimpin jika tidak sedikit orang Islam yang melakukan kejahatan pada umat beragama lain.
Isu intoleransi pun diusung untuk semakin melegalisasikan kepemimpinan kufur di tengah-tengah masyarakat. Lebih baik non muslim jujur daripada muslim tapi korup. Ungkapan seperti ini sering kita dengar di masyarakat. Ini menandakan bahwa masyarakat mulai cenderung kepada kepemimpinan kufur karena sosok yang diperlihatkan memiliki perangai yang baik.
Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan begitu saja, mengingat bahwa predikat baik ataupun buruk tidak bisa ditentukan dari penampilan luarnya saja ataupun menurut kebanyakan orang melainkan memiliki standar baku yang bukan berasal dari manusia yang serba lemah dan terbatas melainkan yang berasal dari Sang Pencipta. Maka dari itu, masyarakat harus diedukasi dan dicerdaskan terkait dengan kepemimpinan yang shohih dalam bingkai politik yang shohih.
Definisi politik memiliki banyak versi. Salah satunya adalah yang diungkapkan oleh Harold D. Laswell dan A. Kaplan yang mengartikan politik sebagai ilmu yang mempelajari pembentukan dan pembagian kekuasaan. Dalam pengertian ini terlihat bahwa politik menurut Barat hanyalah seputar kekuasaan dan bagaimana mendapatkannya serta mempertahankannya.
Sedangkan menurut Islam, politik Islam (as-siyasah al-islamiyah) bermakna pengaturan urusan umat dengan aturan-aturan Islam, baik di dalam maupun luar negeri (ri'ayah syu'un al-ummah dakhiliy[an] wa kharijiy[an] bi al-ahkam al-islamiyah). Aktivitas politik dilakukan oleh rakyat (umat) dan pemerintah. Terlihat jelas perbedaan antara politik versi Barat dengan Islam. Dalam pandangan Barat, yang memiliki hak dalam berpolitik hanyalah penguasa sedangkan di dalam Islam baik rakyat maupun penguasa berpolitik.
Politik Islam akan melahirkan kepemimpinan yang ideal. Kepemimpinan yang shohih. Melahirkan pemimpin yang amanah, pengemban hukum-hukum kehidupan yang berasal dari Sang Pencipta yaitu Allah subhanahu wa ta'alaa. Tidak hanya mengatur jalannya pemerintahan saja tetapi juga benar-benar mengurusi umat. Dalam hadits riwayat Imam bukhari dan muslim, Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggung jawaban atas pengurusannya urusan rakyatnya”.
Jelaslah bahwa hakikat penguasa adalah pengurus (ra’in) dan perisai (junnah) bagi seluruh rakyatnya, muslim maupun non muslim, pria - wanita, tanpa membedakan strata sosial dan agama. Sehingga kepemimpinan di dalam Islam adalah kepemimpinan universal yang mampu menjadi rahmat bagi seluruh alam dengan menerapkan syariat Islam di setiap lini kehidupan. [syahid/voa-islam.com]