Oleh: Khairunnisa' (Pengajar dan Member Pena Umat)
Tahun 2019 adalah tahun politik. Tahun yang digadang sebagai tahun Pemilu presiden untuk perubahan Indonesia 5 tahun ke depan. Tentunya harapan rakyat kembali disentil dan dihidupkan lagi melalui pergantian penguasa.
Kalangan elit politik pusat hingga daerah berjibaku melakukan aktifitas politik melalui berbagai agenda sebagai manufer politik menuju pemilihan presiden (Pilpres). Aktivitas tersebut semakin ramai karena dari rencana, Pilpres akan diadakan sekaligus dengan pemilihan wakil rakyat.
Kinerja anggota partai pun didesak untuk optimal dengan harapan dapat meraih simpati dan dukungan dari rakyat. Parpol sibuk mengusung siapa sosok yang layak digadangkan untuk menjadi pasangan capres dan cawapres. Mereka mulai menunjukan arah dukungan dan poros koalisi tanpa terkecuali.
Dari koalisi yang terjadi, terdapat 3 poros koalisi Parpol. Poros Pertama dari PDIP, Golkar, Nasdem, PPP dan Hanura. Poros Kedua terdiri dari Gerindra dan PKS. Poros ketiga ada Partai Demokrat, PKB dan PAN. Seiring berjalannya waktu koalisi bisa berubah hingga sampai ada pendaftaran di komisi pemilihan umum.
Perubahan itu mulai terasa saat Jokowi menghadiri acara pembukaan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) partai Demokrat pada hari jum'at (11/3) yang berlangsung di Sentul, Bogor, Jawa Barat. SBY menyampaikan kemungkinan partainya bergabung dalam koalisi pemerintah.
Di saat yang sama, PAN membuka wacana soal koalisi 212 yang merupakan penggabungan nomor urut PAN di Pemilu 2019 yaitu nomor 12 dan nomor urut 2 milik Gerindra. Sebelumnya PAN memang tergabung dalam koalisi merah putih pada pemilu 2014. Isu koalisi 212 KMP yang memiliki tujuan untuk menantang Jokowi mengulang duel di Pilpres 2014.
Berbicara tentang perubahan arah koalisi parpol, ini bukanlah pertama kali. Tahun 2014 sudah pernah terjadi. Ada koalisi Gerindra dengan Golkar, PKS dan PBB. Saat itu sesumbar menjadi koalisi permanen. Pasca kemenangan Jokowi-JK, anggota parpol Koalisi Merah Putih (KMP) yaitu Golkar dan PAN berpindah haluan menjadi parpol pendukung Jokowi-JK. Tentunya dengan jatah sebagai menteri. Yang tersisa hanyalah Gerindra dan PKS.
Namun yang perlu kita lihat adalah koalisi apapun dari partai dalam Pilpres, Pilpres, Pilkada, Pileg atau pemilihan yang lainnya haruslah ada tujuan yang hendak dicapai. Tujuan yang dimaksud adalah koalisi partai bukan atas asas kepentingan. Koalisi seharusnya dibentuk untuk memperjuangkan hak dan kemaslahatan negeri ini sebagaimana mestinya.
Ada beberapa hal yang perlu disoroti dalam hal ini, antara lain:
Akhirnya pemilu hanyalah ajang bagi pemilik modal, ajang bersibuk ria dengan berbagai slogan dan visi perubahan yang akhirnya rakyat menelan pil pahit dari semua itu.
Berharap pada parpol “Islam” atau lebih tepatnya mengandalkan basis masa Islam, justru dengan kepentingannya masing-masing, membuat mereka sulit berkoalisi antar parpol Islam tersebut.
Disatu sisi rakyat tidak pernah berhenti berharap adanya perubahan dari partai dan figur manapun, terlebih lagi kepada parpol Islam. Yang terjadi justru sebaliknya. Perubahan yang diharapkan hanya pada sosok bukan pada perubahan seluruh tatanan kehidupan yang menyelimuti mereka. Begitu banyak persoalan di negeri ini yang harus dan sangat membutuhkan peran semua pihak bahkan harus segera diselesaikan terutama oleh pemimpin negeri ini.
Sangat sulit berharap pada partai yang betul-betul komitmen pada peran mereka untuk rakyat. Segala situasi dan kondisi dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk meraih keuntungan yang sebesar-besarnya. Jika koalisi hanya untuk sebuah kepentingan para penguasa, partai dan individu partai, maka kepada siapakah rakyat berharap?
Sebenarnya, dalam Islam diatur bagaimana adanya parpol sebagai wadah yang memiliki tupoksi yang jelas. Sebagaimana fungsi partai adalah melakukan koreksi kepada penguasa supaya melakukan perbaikan ditengah-tengah masyarakat, menjaga dan mengawal negeri agar terwujud masyarakat yang baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur.
Ketika melakukan koalisi, seharusnya idealisme inilah yang diperjuangkan. Pengabdian kepada rakyat sebagai tanggung jawab penguasa sebagai pelayan rakyat tidak boleh dilupakan. Islam memandang bahwa pemimpin itu laksana penggembala yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.
Selamat dan tidaknya rakyat, miskin dan sejahteranya rakyat, terjamin dan tidaknya keamanan rakyat semua adalah tanggung jawab besar penguasa tidak hanya dihadapan rakyatnya akan tetapi dihadapan Sang Pencipta lagi Pemberi Tanggung jawab kelak di hari pertanggungjawaban.
Jadi, seharusnya koalisi tidak berorientasi kepentingan atau kemanfaatan penguasa dan partai koalisi belaka, apalagi kepentingan para sponsorer di belakang partai yang akhirnya lupa terhadap rakyat yang telah memilih. [syahid/voa-islam.com]