Oleh: Egi Arianto
"Agama dengan politik melakukan simbiosis atau hubungan timbal balik yang saling bergantung. Agama membutuhkan negara untuk menegakkan aturan syariat, negara membutuhkan agama untuk mendapatkan legitimasi".
-pola hubungan interseksion antara negara dan agama-
Itulah Indonesia, dimana agama tidak terpisahkan dalam kehidupan bernegara. Norma agama menjadi satu dari berbagai sumber materiil yang menjadi rujukan dalam membentuk peraturan, dan memberikan seperangkat tata nilai dalam kehidupan politik kenegaraan.
Selain norma agama yang hanya menjadi pegangan, ada juga norma agama yang sudah dilegitimasikan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan, di antaranya adalah Undang-undang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). Keduanya adalah norma agama yang menyangkut kehidupan privat atau muamalah.
Dalam hukum publik, KUHP warisan Belanda lebih dipilih untuk diberlakukan ketimbang hukum pidana Islam (jinayah). Padahal menurut Sularno, Hukum pidana peninggalan penjajah Belanda dilandasi oleh falsafah yang berbeda dengan falsafah yang dianut bangsa Indonesia, seperti mengutamakan kebebasan, menonjolkan hak-hak individu, dan kurang memperhatikan nilai-nilai moral. (Sularno, 2012: 23)
Banyak yang memahami hukum pidana Islam hanya sebatas hudud dan kisas, sehingga mereka beranggapan bahwa hukum pidana Islam itu kejam, mengerikan, dan melanggar hak asasi manusia (HAM). Hingga akhirnya menolak untuk menerapkannya di Indonesia. Namun sejatinya, hukum pidana Islam itu penuh dengan keadilan dan kasih sayang. Karena Islam datang untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Adapun tujuan dari adanya hukuman dalam Islam pada dasarnya adalah sebagai pembalasan dan pencegahan atas perbuatan jahat, agar hukum dapat berjalan dengan baik, serta untuk memelihara lima tujuan pokok syariat (agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta).
Jika kita cermati negara yang menerapkan hukum pidana Islam, bukti empiris menyatakan bahwa Uni Emirat Arab (UEA) dan Qatar sebagai negara yang menerapkan hukum pidana Islam, dapat menekan Indeks Kejahatan ke posisi terendah. Berdasarkan Indeks Kejahatan yang dikeluarkan pada 2016 oleh Numbeo, bahwa UEA dan Qatar berada di posisi ke-8 dan ke-7 dengan Indeks 23,08 dan 22,34. Berbanding terbalik dengan Indonesia yang menempati peringkat 41 dengan Indeks Kejahatan mencapai angka 49,51.
Kemudian, berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa angka kejahatan di Indonesia pada 2016 mencapai 357.197 kasus dan meningkat 1,2 persen dari tahun sebelumnya. Hal ini menunjukkan kepada kita semua, bahwa hukum positif warisan Belanda yang diagung-agungkan nyatanya sudah tidak dapat menjadi alat kontrol masyarakat. Masyarakat dengan sadar dan leluasa melakukan suatu pelanggaran bahkan kejahatan.
Ada beberapa hal yang menjadikan hukum ini tidak dapat menjadi kendali agar masyarakat tidak melakukan pelanggaran atau kejahatan. Salah satu di antaranya adalah hukuman yang diberlakukan lemah, tidak memberikan efek jera pada pelaku bahkan tidak menimbulkan rasa takut kepada orang lain untuk melakukannya.
Bandingkan dengan hukuman kisas. Menurut Muhammad Amin Suma dalam bukunya Pidana Islam di Indonesia, hukum kisas akan memberi efek jera pada pelaku maupun komunitas sosial pada umumnya untuk tidak melakukan hal serupa. Pelaku akan takut berhadapan dengan hukum. Pun sebaliknya, masyarakat akan respek dengan hukum.
Berbeda dengan hukum rehabilitatif (lembaga pemasyarakatan), baik pelaku maupun masyarakat memandang hukum sebagai suatu vonis yang masih bisa ‘ditawar-tawar’, dan kemudian dapat bebas dari penjara. (Amin Suma, 2001: 227)
Selain itu, hukuman penjara yang diberikan malah membebani negara dalam hal finansial. Dimana ketika hukuman penjara dijatuhkan, justru negara dibebankan biaya yang besar untuk menjamin kelangsungan hidup narapidana. Dikutip dari laman Inspektorat Jenderal Kemenkumham, bahwa dari anggaran 4 triliun kas rutan, sebagian besar digunakan untuk belanja bahan makanan narapidana 1,2 triliun.
Tentu ini bukanlah solusi, karena utang negara setiap tahun semakin bertambah. Andaikan anggaran untuk narapidana bisa digunakan untuk membayar utang negara atau bahkan digunakan untuk membangun infrastruktur dan untuk kesejahteraan masyarakat umum, mungkin akan lebih bermanfaat dan subsidi kepada masyarakat tidak banyak yang dicabut.
Terlebih, ketika narapidana yang dipenjara adalah tulang punggung keluarga, ia akan menelantarkan keluarganya. Keluarganya akan menjadi korban dari ketidakadilan, karena ia tidak bersalah tapi ikut merasakan penderitaan. Keluarga harus mencukupi kebutuhan hidupnya sendiri.
Oleh karena itu, dalam RUU KUHP sudah seharusnya kita mengakomodir prinsip dan nilai-nilai hukum pidana Islam. Kita tidak harus mengadopsi secara kafah hukum pidana Islam.
Kita hanya perlu mereformasi hukuman jinayah tersebut sesuai dengan keadaan masyarakat Muslim saat ini. Contohnya, dalam hukuman pembunuhan yang harus dikisas. Kita tidak mesti harus menghukumnya dengan cara penggal, tapi kita bisa melakukannya dengan cara tembak, dan sebagainya yang hakikatnya bisa sama-sama menghilangkan nyawa.
Tindak pidana zina yang dalam KUHP dipidana penjara, kita bisa menghukumnya dengan cara cambuk di tempat umum, yang esensi sejatinya bisa membuat pelaku malu dan akhirnya membuat orang lain tidak mau melakukan hal serupa. Atau kita bisa mengadopsi konsep diat dan lembaga pemaafan, yang uangnya bisa diberikan kepada korban.
Hal ini sejalan dengan kaidah fikih: ma la yudrakukulluh la yutraku kulluh, sesuatu yang tidak dapat dicapai seluruhnya tidak boleh ditinggalkan seluruhnya.
Sebagaimana teori hukum pembangunan Prof. Muchtar Kusumaatmadja, bahwa hukum tidak hanya memelihara dan mempertahankan apa yang telah dicapai, namun hukum harus mampu membantu proses perubahan masyarakat itu sendiri.
Di sinilah, hukum pidana Islam (jinayah) hadir sebagai alat pembaharuan masyarakat yang ditujukan untuk perubahan masyarakat itu sendiri. [syahid/voa-islam.com]
Daftar Pustaka:
Sularno, M. Membumikan Hukum Pidana Islam di Indonesia (Agenda dan Kendala). Jurnal Al-Mawarid, Volume XII, Nomor 1, Feb-August 2012.
Suma, Muhammad Amin. 2001. Hukum Pidana Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka Firdaus.
http://itjen.kemenkumham.go.id/berita-utama/915-pemasyarakatan-menjadi-perhatian-kemenkumha