Oleh: Ummu Hanif
Ramadhan tahun ini Kementerian Agama (Kemenag) merilis daftar rekomendasi 200 penceramah. Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, daftar itu dibuat untuk memenuhi permintaan masyarakat yang selama ini kerap meminta rekomendasi penceramah kepada pihaknya.
Ada tiga kriteria yang menjadi acuan hingga para dai itu masuk daftar rekomendasi Kemenag, yaitu mempunyai kompetensi keilmuan agama yang mumpuni, reputasi yang baik, dan berkomitmen kebangsaan yang tinggi (detik.com, 21 mei 2018).
Kebijakan ini sontak menui kontroversi di masyarakat. Umat islam kembali pecah dan mengkubu sesuai pendapatnya, setuju dan tidak setuju. Bagi yang setuju, mereka beralasan memudahkan untuk menilai kualitas da’i, sehingga yang tidak masuk daftar nama tidak perlu diperhatikan lagi. Bagi yang tidak setuju, mereka menganggap karena ini berpotensi memecah belah kaum muslimin, juga akan menimbulkan stigma buruk bagi da’i yang tidak masuk daftar nama dari Kemenag.
Sesungguhnya ketika kita kembalikan lagi kepada islam, bagaimana memandang mengenai kewajiban dakwah, maka kita pasti akan menemukan kesepakatan. Karena setiap perbedaan pendapat yang terjadi diantara kita adalah karena keterbatasan kita sebagia manusia, yang kemudian dipaksa untuk menentukan nilai baik – buruk terhadap sesuatu.
Jelas pada akhirnya akan terjadi polimik yang memungkinkan berujung pada perpecahan. Karena manusia ketika berpendapat, pasti akan sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, tempat tinggal, tingkat ekonomi, pengalaman dan lain sebagainya. Yang antara orang satu dengan orang lainnya berbeda – beda.
Islam mengajarkan kita, bahwa tugas dakwah adalah kewajiban bagi setiap muslim. Setiap pribadi muslim yang telah baligh dan berakal, baik laki-laki maupun perempuan memiliki kewajiban untuk mengemban tugas dakwah. Setiap individu dari umat Islam dianggap sebagai penyambung tugas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam untuk menyampaikan dakwah.
Berdakwah adalah tugas mulia dalam pandangan Allah Subhanahu Wata’ala, sehingga dengan dakwah tersebut Allah menyematkan predikat khoiru ummah (sebaik-baik umat) kepada umat Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wassallam.
“Kalian adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.” (QS: Ali Imron 110)
Di dalam ayat ini terkandung dua hal; pertama, mulianya umat Islam adalah dengan dakwah. Kedua, tegak dan eksisnya umat Islam adalah dengan menjalankan konsep amar ma’ruf nahi munkar.
Sehingga bisa dipahami bahwa apapun profesi dan pekerjaan seorang muslim, tugas dakwah tidak boleh dia tinggalkan. Setiap muslim berkewajiban untuk menyampaikan dakwah sesuai dengan kapasitas dan kemampuan yang dimiliki. Dengan demikian bisa dikatakan bahwa dakwah adalah jalan hidup seorang mukmin yang senantiasa mewarnai setiap perilaku dan aktifitasnya.
Berdasarkan hal ini, kita harusnya lebih bisa bijaksana. Bahwa para da’i, apapun latar belakang pendidikan serta profesinya saat ini, tidak bisa dikatakan mereka tidak layak untuk menjadi da’i. Karena dakwah, adalah tugas langsung dari Allah kepada seluruh kaum muslimin.
Selian itu, kondisi ini memungkinkan masyarakat untuk enggan belajar. Karena mereka akan berpikir bahwa belajar islam, haris kepada yang memiliki kapasitas seperti dalam daftar nama yang telah dirilis Kemenag.
Ketika disekitarnya tidak ada yang demikian, maka dia tidak mau belajar. Kita tahu semangat belajar yang rendah dari masyarakat kita, dengan adanya pembatasn seperti ini, pasti akan menjadi pembenaran ketika mereka semakin enggan belajar.
Maka, janganlah menyalahkan islam, ketika umatnya tidak mampu menjalankan syari’at islam dengan baik. Karena, bagaimana mungkin seseoang akan menjalankan syari’at, ketika dia sendiri tidak paham apa itu syari’at. Bagaikan pungguk merindukan bulan, ketika mengingankan masyarakat semakin islami, sementara para da’i dibatasi. Wallhu a’lam bi ash showab. [syahid/voa-islam.com]