View Full Version
Senin, 30 Jul 2018

Angka Kemiskinan Menurun di Sistem Sekuler?

Oleh: Novita Tristyaningsih (Muslimah Peduli Umat)

Seperti yang dikabarkan oleh Tribun Jakarta, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat untuk pertama kalinya persentase angka kemiskinan di Indonesia mengalami titik terendah, yaitu sebesar 9,82 persen pada Maret 2018. Dengan persentase kemiskinan 9,82 persen, jumlah penduduk miskin atau yang pengeluaran per kapita tiap bulan di bawah garis kemiskinan mencapai 25,95 juta orang.

"Maret 2018 untuk pertama kalinya persentase penduduk miskin berada di dalam 1 digit. Kalau dilihat sebelumnya 2 digit. Jadi ini memang pertama kalinya dan terendah," ujar Kepala BPS Suhariyanto, di Kantor BPS, Jakarta Pusat, Senin (16/7/2018).

Apabila dibandingkan dengan periode sebelumnya yakni September 2017, angka kemiskinan tercatat sebesar 10,12 persen atau setara dengan 26,58 juta orang. Jika dilihat lebih rinci penurunan angka kemiskinan ini terjadi di perkotaan dan perdesaan, penduduk miskin di perkotaan pada Maret 2018 sebesar 7,02 persen, turun dibandingkan September 2017 sebesar 7,26 persen.

Sementara di perdesaan angka presentasi penduduk miskin pada Maret 2018 sebesar 13,20 persen, turun dari 13,47 persen pada bulan September 2017.

Memang, kemiskinan di negara sekuler di nilai dari angka-angka statistik. Padahal faktanya di lapangan, begitu banyak rakyat yang tidak tercukupi kebutuhan hidupnya.

Jangankan kebutuhan sekunder maupun tersier, kebutuhan pangan saja sulit untuk terpenuhi. Begitu banyak di antara mereka yang tidak memiliki tempat tinggal, Alhasil  ada yang tidur di emperan kaki lima.

Ketika malam hari, seharusnya anak seusia mereka berada  di dalam rumahnya, belajar mempersiapkan hari esok di sekolah, tetapi mereka masih gigih menjajakan barang dagangannya.

Suatu keniscayaan di negara sekuler rakyat harus menanggung kebutuhan hidupnya sendiri, baik itu premier, sekunder, maupun tersier. Miris, ketika rakyat berjuang menyambung hidup, mengumpulkan receh demi receh untuk sesuap nasi, yang berkuasa sibuk dengan alasan konyol mengenai harga pangan yang melambung tinggi dan angka-angka statistik yang tidak konkret. Menambah luka rakyat saja.

Padahal di dalam Islam, semua kebutuhan rakyat baik itu kebutuhan premier, sekunder, tersier, maupun pendidikan, kesehatan, keamanan, semuanya tanggung jawab negara. Dan itu semua bisa terpenuhi dari hasil sumber daya alam, yakni sumber daya api berupa minyak bumi, gas alam, besi, baja, panas bumi dan sebagainya, kemudian dari sumber daya air seperti sungai, danau, laut dan seisinya, di tambah lagi dengan sumber daya vegetasi, seperti hutan dan Padang rumput.

Itu semua bersifat kepemilikan umum (al-milkiyah al-âmmah), maksudnya semua manusia berserikat dalam kepemilikan tersebut, sehingga masing-masing dari mereka memiliki hak untuk memanfaatkannya, sebab tidak dikhususkan untuk dimiliki secara individu, dan mencegah orang lain untuk memanfaatkannya.

Seperti hadist Rasulullah S.A.W, "Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, yaitu padang rumput, air dan api." (H.R Abu Dawud).

Berbeda halnya dengan sistem sekuler yang tidak bisa memenuhi seluruh kebutuhan rakyatnya, bukan karena tidak mampu ataupun tidak adanya sumber daya alam melainkan seluruh sumber daya alam sudah lenyap di serahkan kepada para kapitalis.

Solusi terbaik bagi umat ini adalah menerapkan kembali sistem islam dalam kehidupan bernegara. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version