View Full Version
Selasa, 31 Jul 2018

Hempas Radikalisme, Berantas Islamophobia

Oleh: Devita Nanda Fitriani, S.Pd  

 

Aroma Islamophobia kembali menyeruak. Bagaimana tidak, hasil survei yang dilakukan oleh Rumah Kebangsaan dan Dewan Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) kembali  menetapkan 41 masjid yang ada di kantor pemerintahan  terpapar paham radikal.

Ketua Dewan Pengawas P3M, Agus Muhammad menyampaikan survei dilakukan di 100 masjid kementrian, lembaga negara, dan BUMN pada saat shalat Jumat. Indikasi radikalisme itu ditemukan dari materi khotbah Shalat Jumat yang disampaikan para khatib. “Dari 100 masjid sebanyak 41 masjid itu terindikasi radikal,” ungkap Agus di Gedung PBNU, Jalan Kramat Raya, Jakarta Pusat, Minggu (8/7/2018).

 Indikator konten radikal ini dilihat dari tema khotbah Jumat yang disampaikan seperti ujaran kebencian, sikap negatif terhadap agama lain, sikap positif terhadap Khilafah, dan sikap negatif terhadap pemimpin perempuan dan non muslim (www.liputan6.com).

Menyoal Radikalisme

Terminologi  “Radikal”  yang  membentuk istilah radikalisme, awalnya berasal dari bahasa Latin radix, radices, yang artinya akar (roots). Istilah radikal dalam konteks perubahan kemudian digunakan untuk menggambarkan perubahan yang mendasar dan menyeluruh. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) misalnya, kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip); sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan).

Jika dikembalikan pada pengertian asalnya, radikal adalah istilah yang bersifat ‘netral’, tidak condong pada sesuatu yang bermakna positif atau negatif. Positif atau negatif  bergantung dengan apa kata radikal itu dipasangkan. Sebagai contoh, dalam dunia kedokteran  “Bedah Radikal” merupakan pembedahan dimana akar penyebab atau sumber dari penyakit tersebut dibuang, misalnya pembedahan radikal untuk neoplasma.

Sayang, kini istilah radikal menjadi kata-kata politik (political words) yang cenderung multitafsir, bias, dan sering digunakan sebagai alat penyesatan atau stigma negatif lawan politik. Bahkan dimaknai lebih sempit sehingga memunculkan idiom-idiom seperti “Radikalisme Agama”, “Islam Radikal”, dll, yang semuanya cenderung berkonotasi pada Islam. Terbukti dengan  konten- konten yang dijadikan standar untuk mendeteksi hal-hal yang mereka golongkan sebagai paham radikalisme.

Contoh, ketika umat islam menginginkan untuk dapat kembali melanjutkan kehidupan Islam sebagai solusi atas problematika saat ini dianggap sebagai tindakan yang mengusung radikalisme. Larangan orang kafir untuk menjadi pemimpin bagi orang Islam serta perjuangan mewujudkan syariah islam dalam institusi Khilafah juga dianggap sebagai tindakan diskriminatif dan rasis berujung radikalisme. Padahal sejatinya, konten-konten tersebut merupakan bagian dari ajaran Islam yang mesti dipahami oleh kaum muslim.

“Resep” Ampuh Menyembuhkan Islamophobia

Masifnya promosi  fear label (label ketakutan) seperti radikalisme dan derivatnya kepada umat, menyebabkan mereka takut mempelajari Islam secara menyeluruh. Virus islamophobia pun semakin menenggelamkan kaum muslim dalam kubangan sekularisme. Disatu sisi umat tetap mengakui Islam sebagai agamanya, namun dalam aspek lain mereka enggan menerapkannya  secara menyeluruh (Kaffah). Padahal memeluk dan mengamalkan Islam secara kaffah adalah perintah Allah yang wajib dilaksanakan oleh setiap mukmin, siapapun dia, apapun profesinya, dizaman apapun dia hidup, baik pribadi maupun masyarakat, semua termasuk dalam perintah ini. Sebagaimana seruan-Nya dalam surah Al – Baqarah ayat 208 :

“Wahai orang-orang yang beriman! Masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sungguh, ia musuh yang nyata bagimu.”

Namun, melihat kondisi kaum muslim saat ini, menerapkan islam secara kaffah menjadi sesuatu yang sulit. Terlebih ketika berhadapan dengan realita umat yang ‘sakit’ akibat Islamophobia. Maka, umat butuh ‘resep’ untuk menghilangkannya. Seperti seruan-seruan dakwah harus selalu dimasifkan untuk memahamkan umat, agar mereka bisa memfilter berbagai macam informasi yang merupakan propaganda untuk menyerang Islam. Atau pun senantiasa diingatkan mengenai urgennya sebuah negara berbasis Islam (Khilafah). Karena hanya  Khilafah lah yang akan menjadi pelindung bagi agama Islam, menghalau paham radikalisme,  serta menghilangkan virus Islamophobia dengan tuntas. Wallahu ‘alam.

Ilustrasi: republika


latestnews

View Full Version