Oleh: Aufa Adzkiya (Aktivis Dakwah Islam)
Hari Raya merupakan hukum syara’ yang ditetapkan oleh Allah kepada kaum Muslim. Setiap tahunnya, terdapat dua hari raya bagi kaum Muslim yakni Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha. Penyelenggaraan Hari Raya Idul Adha tahun ini kembali terjadi perbedaan dalam perhitungan Dzulhijah antara Arab Saudi dengan Indonesia.
Mahkamah Ulya Arab Saudi telah menetapkan bahwa Minggu, 12 Agustus 2018 adalah 1 Dzulhijjah 1439 H. Dengan penetapan ini, maka Hari Arafah 9 Dzulhijjah akan bertepatan pada Senin, 20 Agustus 2018 dan Hari Raya Idul Adha pada Selasa, 21 Agustus 2018. Penetapan tersebut, merupakan hasil pengamatan Tim Rukyatul Hilal di beberapa tempat, seperti di As-Sudair dan As-Syaqra'. Mereka menyatakan berhasil melihat bulan (ru’yatul hilal).
Sementara, pemerintah Indonesia melalui siding itsbat menetapkan 1 Dzulhijjah 1439 H jatuh pada Senin, 13 Agustus 2018. Sehingga, hari raya Idul Adha dilaksanakan pada Rabu, 22 Agustus 2018.
Menanggapi perbedaan ini, Menteri Agama Lukman Hakim menyampaikan bahwa penetapan waktu ibadah di Indonesia bersifat lokal, bukan global, mengikuti wilayatul hukmi mencakup MABIMS (Malaysia, Brunei, Indonesia dan Singapura).
"Untuk ibadah, terutama salat dan puasa, kita merujuk pada waktu lokal, sehingga perbedaan waktu, jam, termasuk hari, kita mengikuti wilayah di mana kita berada," ujar Lukman, seperti dikutip dari laman resemi Kemenag, Sabtu (18/8/2018).
Perbedaan penetapan awal Dzulhijjah ini menimbulkan berbagai kerisauan kaum Muslim di Indonesia. Oleh karena hari raya ini merupakan suatu hukum syara’ bagi kaum Muslim maka penulis mengajak untuk mengembalikan permasalahan ini sebagaimana dulu Rasulullah SAW mencontohkan.
Rasulullah SAW sebenarnya pernah memerintahkan kepada Wali (Gubernur) Makkah untuk melakukan ru'yah bulan Dzulhijjah yaitu dengan cara berikut:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdurrahim Abu Yahya Al Bazzaz, telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Sulaiman, telah menceritakan kepada kami ‘Abbad, dari Abu Malik Al Asyja’i, telah menceritakan kepada kami Husain bin Al Harits Al Jadali yang berasal dari Jadilah Qais, bahwa Amir Mekkah telah berkhutbah, ia berkata; Rasulullah saw mengamanatkan kepada kami agar melaksanakan ibadah (haji) berdasarkan ru'yah.
Jika kami tidak berhasil meru'yah tetapi ada dua saksi adil (yang berhasil meru'yah), maka kami melaksanakan ibadah berdasarkan kesaksian keduanya. Kemudian aku bertanya kepada Al Husain bin Al Harits, siapakah Amir Mekkah tersebut? Ia berkata; saya tidak tahu.
Kemudian ia bertemu denganku setelah itu dan berkata; ia adalah Al Harits bin Hathib saudara Muhammad bin Hathib.
Kemudian Amir tersebut berkata; sesungguhnya diantara kalian terdapat orang yang lebih mengetahui mengenai Allah dan rasulNya daripada diriku.
Dan orang ini telah menyaksikan hal ini dari Rasulullah shallallahu wa’alaihi wa sallam.
Amir tersebut menunjuk dengan tangannya kepada seorang laki-laki.
Al Husain berkata; aku bertanya kepada orang tua yang ada di sampingku; siapakah orang yang ditunjuk oleh Amir tersebut?
Ia berkata; orang ini adalah Abdullah bin Umar, dan Amir tersebut benar.
Ia adalah orang yang lebih tahu mengenai Allah daripada dirinya. Ibnu Umar berkata; demikianlah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kepada kami. (HR. Abu Dawud dan ad-Daruquthni)
Menurut pendapat Dr. Syahrir Nuhun Lc., M.Th.I Hadits ini menunjukkan bahwa yang mempunyai otoritas menetapkan hari-hari manasik haji, seperti hari Arafah, Idul Adha, dan hari-hari tasyriq, adalah Amir Makkah (penguasa Makkah), bukan yang lain.
Pada saat tiadanya pemerintahan Islam seperti sekarang, kewenangan itu tetap dimiliki penguasa Makkah, sekarang (Kerajaan Arab Saudi).
Menurutnya pula, Inti dari ibadah haji adalah wukuf di Arafah, sementara Hari Arafah itu sendiri adalah hari ketika jamaah haji di Tanah Suci sedang melakukan wukuf di Arafah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW :
«اَلْحَجُّ عَرَفَةُ»
Ibadah haji adalah (wukuf) di Arafah.
(HR at-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Baihaqi, ad-Daruquthni, Ahmad, dan al-Hakim).
Rasulullah SAW juga pernah bersabda:
«فِطْرُكُمْ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَأَضْحَاكُمْ يَوْمَ تُضَحُّوْنَ، وَعَرَفَةُ يَوْمَ تُعَرِّفُوْنَ»
Hari Raya Idul Fitri kalian adalah hari ketika kalian berbuka (usai puasa Ramadhan), dan Hari Raya Idul Adha kalian adalah hari ketika kalian menyembelih kurban, sedangkan Hari Arafah adalah hari ketika kalian (jamaah haji) berkumpul di Arafah. (HR as-Syafii).
Jika berdasar dalil di atas, maka umat Islam di seluruh dunia yang tidak sedang menunaikan ibadah haji menjadikan penentuan hari Arafah di tanah suci sebagai pedoman.
Menyikapi perbedaan pendapat ini diharapkan dengan cara yang bijaksana. Bagi yang memilih untuk berlebaran Idul Adha pada hari Selasa, 21 Agustus 2018 berdasarkan hasil ru'yah mahkamah 'ulya Arab Saudi agar tidak menyalahkan, apalagi membid'ahkan yang berlebaran keesokan harinya. Sebaliknya bagi yang berlebaran pada hari Rabu untuk memberikan kesempatan bagi yang memilih untuk berlebaran lebih dahulu.
Penetapan Hari Raya Idul Adha tidak lepas dari peran Khalifah (pemimpin kaum muslim) sebagai penengah dan pembuat keputusan jika terdapat perbedaan ditengah Kaum Muslim, agar tidak menimbulkan perselisihan.
Hal ini menunjukkan betapa pentingnya sebuah sistem kepemerintahan Islam yang disana akan senantiasa mendorong peran Khalifah melakukan ijtihadnya untuk Kaum Muslim. [syahid/voa-islam.com]