View Full Version
Selasa, 02 Oct 2018

Ulama Berpolitik, Bolehkah dalam Islam?

Oleh: Aufa Adzkiya (Aktivis Dakwah Kampus & Pegiat di Pena Langit)

Kampanye PILPRES 2019 gaungnya berbeda dari sebelumnya, seperti yang kita tau bahwa kedua kubu melibatkan ulama yang dianggap memiliki nilai strategis yang mampu mendongkrak suara. Kubu Prabowo menggunakan Ijtima Ulama. Sedangkan kubu Jokowi, tidak tanggung tanggung, mengusung KH. Maruf Amin sebagai pendamping Jokowi. 

Ijtima Ulama yang akhir-akhir ini sedang ramai diperbincangkan hingga pelosok negeri, enggan berhenti disaat rekomendasi Ijtima Ulama I belum diambil sehingga menggelar forum kembali.  Hasil dari forum Ijtima Ulama II secara resmi menyatakan dukungan kepada pasangan bakal calon presiden-wakil presiden Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, setelah ditandatangani pakta integritas oleh mantan Danjen Kopassus. REPUBLIKA.co.id (16/9/2018).

Forum Ijtima Ulama II tersebut mendapat tanggapan dari calon wakil presiden (cawapres) kubu lawan yaitu KH Ma'ruf Amin yang tak khawatir akan hasil Ijtima Ulama II yang mendukung pasangan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno dalam Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019.

Beliau tetap optimis pasangan Joko Widodo (Jokowi)-Ma'ruf dapat memenangkan Pilpres 2019 dan mengklaim mereka telah  mendapat dukungan dari sekitar 400 orang ulama. KH Ma’ruf Amin menilai, ulama yang mendukung Jolowi-Ma'ruf adalah orang-orang yang benar-benar memiliki keilmuan tentang Islam. Karena itu, ia tak takut ditinggalkan oleh kalangan ulama. (REPUBLIKA.co.id).

Hal ini membuat dilema masyarakat, mengenai tentang siapakah  ulama yang bisa dijadikan panutan dan suri tauladan. Karena bagi masyarakat, ulama adalah jabatan sakral. Kesakralannya terletak pada kedalaman ilmunya serta ketinggian akhlaqnya.

Apabila kita amati ulama kini telah mengambil perannya dalam dunia politik. Namun sayangnya dalam sistem demokrasi, politik identik dengan perilaku menyimpang dari yang haq; identik dengan kebohongan, kecurangan, dan penyesatan. Hal itu akibat perilaku politisi dan penguasa yang banyak bertindak zalim dan merampas kepentingan rakyat. Sehingga tidak sedikit yang berpendapat “jangan campurkan antara agama dengan politik” karena menganggap bahwa politik hari ini adalah kotor sedangkan agama adalah suci.

Mari kita ingat bersama bahwa agama Islam adalah agama yang syahmil wa kahmil (menyeluruh dan sempurna) yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Dalam Islam terdapat peraturan yang mengatur mengenai hubungan manusia dengan Allah SWT (mencakup sholat, puasa, zakat, haji dan aqidah), peraturan mengenai hubungan manusia dengan dirinya sendiri (mencakup pakaian, makanan, minuman, akhlak dsb) dan peraturan mengenai hubungan manusia dengan sesamanya (pemerintahan, ekonomi, hukum dsb).

Pada peraturan islam yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya inilah konsep politik islam dijelaskan. Politik dalam bahasa Arab ialah as-siyaasah, berasal dari kata saasa-yasiisu (mengatur). Secara istilah syar’i, politik didefinisikan sebagai ri’ayatus syu’uunil ummah yaitu pengaturan urusan masyarakat.

Dengan demikian, politik dalam islam tentunya tidak sama seperti politik praktis yang diterapkan dalam sistem demokrasi. Sehingga tidak akan muncul pendapat siapa saja yang melibatkan diri penuh di dalam politik akan tercemar, termasuk ulama.

Dalam sistem kepemerintahan Islam (read: Khilafah), keterlibatan ulama dalam aktivitas politik justru akan menjadikan para ulama mulia, akan menjadikan para ulama sebagai sayyidusy-syuhada’.

Karena ulama akan senantiasa melakukan aktivitas amar makruf nahi mungkar kepada penguasa yang merupakan bagian penting dari aktivitas politik, demi mengontrol diterapkannya islam secara keseluruhan tanpa adanya penyelewengan.

Ulama juga akan berperan besar dalam mencerdaskan umat. Maka tercerminlah kemuliaanan dan kedudukan ulama yang menjadi rujukan dan uswah bagi umat mengganti para Nabi.

Sebagaimana sabda Rasulullah SAW “Ulama adalah pewaris nabi.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ibn Hibban). [syahid/voa-islam.com]

Catatan: posisi ulama tidak  melebihi posisi kenabian, dan tidak ada kemuliaan melebihi kemuliaan pewaris kedudukan tersebut.


latestnews

View Full Version