View Full Version
Selasa, 02 Oct 2018

Ketika Ulama Tertarik Magnet Politik

Oleh: Ririn Hidayati (Guru Madrasah)

Munculnya statement “Politik itu kotor” dan “Politik itu yang tadinya kawan menjadi lawan” membuat sebagian orang enggan terlibat politik. Entah karena pusing melihat carut marut praktek berpolitikan hari ini. Yang tiada sepi dari berita korupsi. Sampai rasa Aware terhadap politik seakan berhasil dihabisi. Mulai dari rakyat yang diurusi hingga mahasiswa yang seharusnya peduli negeri.

Di sisi yang lain,  masuk dalam kancah politik menjadi daya tarik kuat bagi sebagian kalangan. Mulai dari artis, pengusaha, hingga para Ulama. Apalagi di musim-musim mendekati pemilu saat ini. Setiap dari mereka mengeluarkan jurus pamungkasnya memikat suara rakyat. Artis dengan ketenarannya. Pengusaha dengan kemapanan hartanya. Sedang bagaimana dengan Ulama?

Sesungguhnya posisi strategis seorang Ulama adalah sebagai warasatul Anbiya’ yaitu pewaris para Nabi. Bukan pewaris dalam hal menjadi kepala negara (penguasa) tetapi dalam keilmuwan dan dakwah Islamnya. Pada akhirul zaman seperti ini, Ulama seharusnya dijadikan rujukan umat. Gurunya umat. Sebagai tempat bertanya tentang segala permasalahan kehidupan mulai dari ekonomi, pendidikan, sampai politik. Ulama-pun harus bersandar dan berstandart dengan syariah Islam sebagai satu-satunya solusi.

Ulama juga  mengetahui bahwa syariah Islam juga mengatur politik tidak hanya ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan akhlakhul karimah. Sehingga harapannya mampu meluruskan makna politik yang sebenarnya dalam syariah Islam.

Bagaimana Islam berbicara tentang politik? Berbeda 360 derajat dengan statement (baca: politik itu kotor) di atas. Di dalam syariah Islam, politik adalah aktivitas mulia. Karena politik berarti riayah su’unnil ummah (mengurusi urusan masyarakat). Yang namanya urusan umat pasti banyak.

Meliputi pemenuhan kebutuhan (hajat hidup ) berupa pendidikan, kesehatan, sandang-papan-pangan (ekonomi). Semua itu tidak lain kita telah melakukan aktivitas politik. Agar tidak mal-praktik, politik musti diatur oleh sistem pemerintahan di sebuah negara yang juga berlandaskan Islam.

Lalu, ketika politik hari ini masih banyak yang mal-praktik karena terlahir dari sistem aturan demokrasi-kapitalis yang kontra dengan Islam, muncul fenomena ulama nyaleg atau mencalonkan diri dalam pemilu.

Padahal di dalam kitab Ihyaa’ Uluum ad-Diin karangan Imam Al-Ghazali dinyatakan: “Rusaknya rakyat disebabkan karena rusaknya penguasa. Rusaknya penguasa disebabkan karena rusaknya ulama. Rusaknya ulama disebabkan karena dikuasai cinta harta dan ketenaran.” Antara hanif dan naif itu berbeda tipis. Awas tergelincir. Posisi yang membahayakan. Bermuara kepada dosa investasi.

Ketika seorang ulama melihat kemungkaran yang dilakukan penguasa maka tidak boleh bungkam. Sikap yang wajib diambil oleh seorang ulama terhadap penguasa adalah mengoreksi apakah kebijakan penguasa hari ini sudah sesuai dengan syariah Islam atau tidak. Diamnya ulama malah dapat dijadikan alat legitimasi penguasa. Itulah awal kran kerusakan dibuka.

Seorang ulama yang lekat dengan citra pendakwah haruslah menjaga lisan agar tetap jujur. Tidak terhanyut pada ceremonial kampanye pemilu yang biasa mengumbar janji kepada rakyatnya. Dapat menjaga Iffah (kehormatan) diri seorang ulama tersebut. Istiqomah menjadi ulama pembela Islam dan akan selalu berada dipihak kaum Muslim.

Bukan malah berbalik, menjadi ulama su’ (ulama jahat) yang menjadi penentang syariah Islam dan berada dipihak para pembenci Islam. Naudzubillah. Wallahu A’lam bi-Ash-showab. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version