View Full Version
Ahad, 14 Oct 2018

[Story Hamka-5] Cara Hamka Memberi Maaf

Oleh: Roni Tabroni*

Dunia sastra tanah air telah mencatat peristiwa memilukan. Pramoedya Ananta Toer pernah menyerang Hamka sesama satrawan karena karya-karyanya terutama buku “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”.

Sayangnya, kritik Pram tidak hanya ditujukan pada pemikiran dan karyanya, tetapi juga terhadap pribadi Hamka. Namun Hamka tidak pernah melakukan perlawan, apalagi menyerang balik.

Bagi Hamka, polemik tentang karya sastra yang dibuatnya harusnya diselesaikan lewat dewan sastra, karena dianggap lebih kompeten untuk melakukan penilaian secara objektif. Sedangkan untuk serangan-serangan Pram yang bersifat pribadi dan dimuat dua media yaitu Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur pada tahun 1963 tidak pernah ditanggapinya.

Kedua koran tersebut konon menyerang Hamka berbulan-bulan lamanya, tanpa melakukan tabayyun. Pun tidak ada ruang bagi Hamka untuk melakukan klarifikasi di media yang berafiliasi kepada Partai Komunis Indonesia (PKI) itu.

Anak Hamka yaitu Irfan Hamka dalam memoar buku “Ayah” menjelaskan, efek hujatan itu tidak hanya pada ayahnya, tetapi juga pada kelurga termasuk dirinya. Sebagai putra Hamka, Irfan mengaku sering disindir guru sastra di sekolahnya. Menurut Irfan, guru sastra yang dekat dengan Lekra itu selalu menanyakan Hamka dengan nada sinis.

Irfan merasa tertekan dan tidak nyaman dengan perlakuan gurunya tersebut. Bahkan selain guru sastra, perlakuan yang sama juga datang dari guru Civic ketika sekolah SMA.

Tetapi, dimata keluarga, Hamka seolah tidak terganggu dengan serangan-serangan dari pihak lain. Hamka selalu beraktivitas seperti biasa, menulis dan terus berdakwah.

Namun, seiring tahun berlalu, Tuhan membuka mata manusia. Di saat Pram akan menikahkan anak pertamanya yang perempuan Astuti, Irfan baru tahu bagaimana lanjutan ceritera kedua tokoh sastra tanah air ini.

Astuti pada suatu waktu datang menemui Hamka dan memperkenalkan diri sebagai putra seorang sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Awalnya Hamka kaget, tetapi mengabulkan keinginan Astuti yang saat itu datang membawa calon suaminya yang orang Tionghoa untuk masuk Islam dan belajar agama. Kedatangannya itu aku Astuti karena disuruh oleh ayahnya.

Hamka membaca apa yang dilakukan Pram sebagai bentuk permohonan maaf atas apa yang dilakukannya beberapa waktu ke belakang. Sebagai bentuk pemberian maaf, Hamka pun tidak melakukannya secara verbal tetapi dengan mengabulkan keinginan Pram.

Hamka memang seperti yang diduga Pram. Hamka akan mengislamkan dan mengajari agama kepada calon mantunya Pram. Sedangkan Pram, walaupun berbeda pandangan dalam hal sastra, mengaku dalam hal agama lebih percaya terhadap Hamka.

Begitulah cara orang-orang besar mengajari kita. Boleh berdebat secara pemikiran dan karya, tetapi sikap sebagai orang beragama dan sebangsa tetap dijaga.

Hamka tidak pernah meminta Pram untuk datang meminta maaf secara langsung. Semuanya mengalir begitu saja. Walaupun serangan dilakukan kepada pribadi, Hamka tidak menuntut secara berhadap-hadapan.

Ketika serangan itu bahkan dilakukan di media massa dalam waktu yang cukup lama, Hamka juga tidak menuntut Pram untuk meminta maaf secara terbuka di media yang sama, apalagi sampai berbulan-bulan.

Dengan mempercayakan anaknya belajar agama kepadanya, bagi Hamka itu sudah lebih dari cukup untuk meminta maaf. Jika saja Hamka tidak memaafkan Pram, mana bisa Hamka mengabulkan permintaannya itu.

Kebesaran jiwa Hamka tidak pernah (sejauh ini) ditemukan secara verbal maupun tekstual. Namun perilakunya telah mengajarkan lautan hikmah bagi generasi bangsa ini. Tanpa harus menyerang balik, tanpa harus menuntut permohonan maaf, tanpa hrus dipublikasikan ketika dirinya berbuat baik kepada orang yang pernah menyakiti diri dan keluarganya, Hamka adalah simbol dari keteladanan.

Dan Hamka telah mengajari kita lewat prinsip dan perilakunya, bagaimana cara memberi maaf kepada orang lain tanpa mempermalukan orang yang diberi maaf. [syahid/voa-islam.com]

*) Penulis adalah Dosen Prodi Ilmu Komunikasi USB YPKP, UIN SGD Bandung dan Pengurus MPI PP Muhammadiyah


latestnews

View Full Version