View Full Version
Rabu, 28 Nov 2018

Reuni 212: Tegakkan Keadilan

Oleh: M. Rizal Fadillah

212 memang fenomenal. Bagian dari sejarah perjuangan umat Islam. Ini bukan ceritra kegilaan Wiro Sableng. Tapi kengawuran Gubernur sombong, sompral, sradak sruduk yang menyentuh kesucian Agama. Menista kitab suci.

Ketika politik dan hukum tidak berpihak kepada muslim yang tersinggung, umat berkumpul di Monas. Jutaan mujahid menekan hukum dan melawan ketidakadilan.

Reuni 212 terjadi tahun lalu untuk mengenang kemenangan. Ahok kalah dan dipenjara. Cukup bersemangat dengan momentum menjelang Pilkada serentak. Sentuhannya membangun kepemimpinan daerah berbasis umat.

Kini 212 memanggil kembali. Momentum maulid Nabi, bela tauhid, serta pilpres #2019 Ganti Presiden. Memang tema tidak eksplisit, namun itu mendorong semangat tinggi untuk berkumpul di Monas lagi. Sentimen perjuangannya adalah melawan ketidakadilan.

Pertama, ketidakadilan politik. Umat Islam merasakan ketimpangan perlakuan politik. Politik Islam seolah ditabukan dengan menganggap sebagai anti kebhinekaan karena identitas. Lupa bahwa faham kebangsaan yang merasa dominan faktanya telah memunculkan kepercayaan diri bagi tumbuhnya ideologi sosialisme dan komunisme.

Asas ekuilibrium dinafikan dengan prinsip kalah dan menang. Karena partai berbasis Islam dinilai 'kalah', maka Islam politik mesti dipinggirkan, dipojokkan, bila perlu, diadu domba sesama, agar lemah dan ujungnya tereliminasi.

Kedua, ketidakadilan hukum. Kasus yang berhubungan dengan umat Islam dan tokoh tokoh umat sangat cepat direspon dan diproses, sebaliknya kasus yang dekat dan membela kepentingan pemegang kekuasaan, bukan saja lambat, bahkan tidak diproses. Kriminalisasi aktivis dan ulama terjadi. Penegakkan hukum beraroma 'tajam pada lawan, tumpul pada teman'. Hukum menjadi kepanjangan tangan politik.

Ketiga, ketidakadilan ekonomi. Bahasa populernya asing dan aseng jadi penguasa ekonomi. Teori ekonomi kapitalis yang diajarkan di bangku kuliah dipraktekkan sempurna oleh pengusaha di Indonesia. Semburan api Naga telah menggosongkan pelaku ekonomi pribumi. Proteksinya luar biasa, sampai sampai menyebut 'pribumi' saja sudah terlarang di negeri ini.

Ketidakadilan ini menempatkan rezim represif sebagai peneror sejati.

Reuni 212 nanti ditandai dengan berkibar ribuan atau juta bendera tauhid. Inilah simbol perlawanan itu. Bendera suci Nabi yang dibakar oleh orang jahil dan pelaku dihukum dengan 'palu mainan'. Sepuluh hari penjara denda dua ribu rupiah. Vonis yang sangat "menista agama".

Tapi kita semua harus maklum, karena 212 bukan ceritra tentang Wiro Sableng, melainkan tentang sang ratu yang tidak berlaku adil dan membuat negeri porak poranda terlanda puting beliung. Kebijakan politik yang muter muter, bikin semua orang jadi keblinger.

Akan tetapi orang bijak berkata walau langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan.

Dua Satu Dua adalah langkah tegak umat untuk perjuangan keadilan. Selamat bereuni, selamat bersilaturahmi. Allah meridloi dan melindungi. Nashrun minallah. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version