View Full Version
Sabtu, 29 Dec 2018

Xinjiang dan Hak Asasi yang Hilang

KAMP konsentrasi berukuran sepuluh kali lapangan sepak bola dibangun di provinsi Xinjiang, Tiongkok. Menurut pantauan citra satelit yang disiarkan BBC International, kamp itu masih terus dibangun dan dikembangkan untuk mencakup area yang lebih luas lagi. Pemerintah Tiongkok pada even G-20 Summit berdalih bahwa kamp tersebut digunakan untuk keperluan pelatihan tenaga kerja. Namun klaim sepihak ini tidak mampu meredam spekulasi dunia internasional akan pelanggaran HAM yang terjadi di Xinjiang.

Etnis Uighur yang hidup di Xinjiang selama sepuluh dekade terakhir memang selalu mengalami diskriminasi. Hak asasi khususnya hak beragama dibatasi bahkan dirampas paksa oleh pemerintah. Aktivitas ibadah seperti salat dan puasa dilarang keras. Penggunaan simbol dan identitas keagamaan juga tidak diperbolehkan. Tindakan represif menanti jika Muslim Uighur menggunakan kerudung dan memanjangkan jenggot. Di sisi lain, promosi minuman keras dan daging babi yang notabene diharamkan agama Islam, digencarkan pihak pemerintah Tiongkok.

Jurnalis internasional telah banyak melakukan wawancara dengan penduduk Xinjiang yang anggota keluarganya ditahan di kamp konsentrasi. Hasilnya, responden menyatakan para tahanan kamp ditangkap dengan alasan yang bersifat keagamaan.

Mereka ditangkap karena mempraktikkan ajaran agama Islam. Banyak di antara mereka yang kemudian dipenjarakan tanpa proses pengadilan dan mendekam bertahun-tahun. Tidak sedikit juga yang menjemput ajal di penjara. Mirisnya, jenazah tahanan kamp tidak dikembalikan pada pihak keluarga untuk dikebumikan berdasarkan ajara Islam. Jenazah korban kamp dikremasi tanpa persetujuan keluarga. Dengan metode ini, jumlah korban jiwa semakin sulit terdeteksi secara akurat.

Para responden wawancara tersebut juga menjelaskan bahwa kamp konsentrasi sebenarnya bertujuan untuk reideologi komunis yang dianut sebagai ideologi resmi Tiongkok. Muslim Uighur dipaksa agar meninggalkan keyakinan terhadap Islam. Jika ada resistensi, maka berbagai siksaan fisik menanti. Mereka kemudian didoktrin untuk mengadopsi ideologi komunis dan tunduk pada Xi Jinping yang dielu-elukan sebagai prototipe manusia sempurna a la ideologi Tiongkok.

Negeri-negeri Barat mulai dari Amerika, Jerman hingga Belanda masing-masing mengutuk keras tindakan represif Tiongkok atas Muslim di provinsi Xinjiang. Namun sampai saat ini, pemerintah Indonesia belum mengeluarkan sikap resmi atas siksaan terhadap saudara sesama Muslim di Xinjiang sana. Rupa-rupanya sang pemimpin tertinggi negeri zamrud khatulistiwa segan pada negeri tirai bambu atas hutang untuk berbagai proyek infrastruktur yang telah diterima. Kaidah al-ihsan yu'jizul insan yang maknanya kebaikan melemahkan manusia telah menawan dan membuat kelu lidah Indonesia untuk sekedar memprotes tindakan keji Tiongkok atas Muslim Uighur.

Seyogyanya, Indonesia konsisten untuk menolak penjajahan atas segala bangsa. Jangan hanya karena berbagai hutang yang telah menjerat, membuat protes atas kekejaman menjadi berat. Sesama Muslim saling bersaudara dan haruslah ikut bertenggang rasa dan ikut prihatin akan penderitaan saudaranya. Alasan tidak ingin ikut campur urusan dalam negeri negara lain tidak pantas dinyatakan oleh Indonesia yang dalam pembukaan UUD-nya menolak tegas penjajahan termasuk diskriminasi dan pelanggaran hak asasi pada bangsa apapun.

Hal ini sejalan dengan syariat Islam yang mewajibkan sesama Muslim untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.  Syariat pun mewajibkan bagi pemimpin negeri Islam untuk membela Muslim manapun yang tertindas dan terhalangi hak beragamanya. Maka atas dasar ini, wajib bagi pemerintah Indonesia menyatakan keberatan atas tindakan represif dan diskriminasi Tiongkok yang arogan atas Muslim di provinsi Xinjiang. Sudah saatnya juga pemerintah Indonesia menunjukkan bargaining politic dengan mendesak Tiongkok sudahi penindasan Muslim Xinjiang.* Yuyun Novia, Revowriter Chapter Bogor


latestnews

View Full Version