View Full Version
Senin, 31 Dec 2018

Tahun Mimpi Buruk

Oleh: M Rizal Fadillah

2019 disebut juga sebagai tahun politik, karena akan dilaksanakan pemilu legislatif dan pemilihan Presiden dan Wakil presiden. Pergantian tahun mengarahkan perhatian pada suasana proses politik yang semakin hangat.

Tercatat sebagai sejarah baru dalam pemilu yang dilakukan serentak baik memilih anggota legislatif di semua tingkat, termasuk DPD, maupun Pilpres/wapres.

Nampaknya, petahana tidak terlalu besar kans untuk menang. Tak ada satupun lembaga survey yang memberi angka telak bagi kemenangan petahana. Bahkan Prabowo Sandi memiliki hitungan prosentase yang lebih besar. Meski tipis. Trend petahana datar bahkan menurun. Sementara Prabowo Sandi posisi meningkat.

Memang Jokowi masih berpatron pada kekuatan "pencitraan" bukan pada prestasi dan perencanaan. Tentu, karena di dua hal ini lah kesulitan terasa. Minim prestasi dan bukti kondisi negara sedang terpuruk. Janji janji dahulu banyak yang belum terealisasi.

Bagi Prabowo Sandi menang adalah mimpi indah. Siap melakukan pembaharuan dan perubahan terhadap situasi yang memang sedang buruk. Bagi Jokowi-Ma'ruf kemenangan adalah kerja berat menyelesaikan pekerjaan rumah yang menumpuk. Tak ada mimpi indah disana. Sebaliknya kekalahan, akan menjadi hal biasa bagi kontestan penantang. Berbeda dengan petahana, kekalahan adalah "kiamat" yang menggelisahkan.

Investasi, aset, jaringan, dan apa yang ada akan habis atau berguguran. Bongkar bongkar kasus pun bisa saja terjadi. Inilah mimpi buruk itu. Oleh karenanya masif di pencitraan dan serangan "character assasination" yang diperlihatkan baik oleh yang bersangkutan maupun tim sukses adalah wujud dari beban berat dan kepanikan itu.

Panik karena ketua tim sukses yang awalnya begitu disambut sebagai pilihan cerdik, nyatanya tak menunjukkan kemampuan manajemen politik yang mumpuni. Partai berjalan sendiri sendiri. Panik karena tidak semua "naga" konsisten menyemburkan dana sebagaimana 2014 yang lalu. Khawatir akan kekalahan yang mungkin terjadi. Rencana lari James Riadi, mengharuskan disentil dulu melalui kasus Meikarta. Banyak tokoh mendukung atas dasar politik sandera. Penegakkan hukum dijadikan genderuwo untuk menakut nakuti.

Panik karena musuh beratnya adalah umat Islam. Penarikan cawapres Kyai tidak berpengaruh, malah jadi bahan olok-olok. Kualifikasi politisinya rendah dan wibawa keagamaannya pun turut luntur. Panik main sembarang tonjok, menonjok Prabowo dari masalah imam shalat sampai tantangan baca Qur'an, sementara dirinya menjadikan sholat sebagai alat dan bahan jualan. Agama jadi bualan politik.

Menonjok SBY di Pekanbaru dengan merusak baliho. Aksi yang dinilai sontoloyo. Menonjok Amien Rais dan partainya dengan menggunakan Sarumpaet dan Pendiri PAN berhaluan kiri, syiah, kristen, nasionalis sekuler, Albert Hasibuan, Goenawan Mohammad dan teman teman. Menonjok angin.

Tahun 2019 adalah tahun ketar ketir Jokowi. Pendukung mulai gerah dan berhitung

Akan ada kubu besar pendukung yang akan menjadi "pioneer" melompat. Merasakan kapal oleng, gelombang laut membesar. Tahun 2019 bukan semakin mantap langkah Jokowi, banyak salah tingkah. Sulit mengubah keadaan untuk meroketkan simpati.

Sudah terjebak di pusaran air yang terus menenggelamkan. Orang tenggelam yang panik, segala akan dipegang. Dikira tonggak, padahal kakinya sendiri. Ia pun teruss tenggelam. Pak Jokowi, Happy New Year...Happy Nightmare. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version