View Full Version
Kamis, 24 Jan 2019

Remember Malari!

Oleh: M Rizal Fadillah

Pada tanggal 15 Januari 1974 terjadi demonstrasi mahasiswa yang berakhir rusuh. Mahasiswa memprotes kedatangan PM Jepang Kakuei Tanaka ke Jakarta. Hubungannya adalah persoalan investasi asing (Penanaman Modal Asing) yang besar khususnya dari negara Jepang. Kondisi yang dikritisi adalah "penjajahan ekonomi asing".

Meski tidak berhasil, berakhir dengan kerusuhan dan penangkapan serta pengadilan tokoh mahasiswa, namun Jepang akhirnya membatasi pergerakkan ekonomi yang dicitrakan penjajahan tersebut.

Kini peran negara Jepang diambil alih oleh China dengan investasi dan pinjaman luar negeri yang jauh lebih besar, lebih kasar, dan memiliki program hegemoni "New Silk Road" yang menakutkan.

Dengan pengerahan tenaga kerja "unskilled", proyek infrastruktur, peran besar pengusaha "naga", serta keakraban luarbiasa kedua negara, maka skenario pendudukkan sudah mulai dirasakan rakyat Indonesia.

Tiga catatan dari peristiwa Malari yang menjadi peringatan bagi kita bangsa Indonesia kini, yaitu :

Pertama, 8 tahun sejak Soeharto berkuasa, asing (Jepang) mulai memperkuat pengaruh ekonominya di Indonesia, sehingga tergerus kemandirian dan kedaulatan negara Republik Indonesia. Kini dalam 4 tahun saja pemerintahan Presiden Jokowi, pengaruh Cina dalam bidang ekonomi dan politik terasa sangat dominan.

Kedua, daya kritis mahasiswa cukup tinggi yang dibarengi dengan keberanian untuk melakukan koreksi meski harus melalui demonstrasi. Ini karena mahasiswa memiliki pendidikan kemandirian yang bagus "student government" Dewan Mahasiswa.

Saat ini kemandirian, kekompakan, dan keberanian mahasiswa mengalami ujian serius. Pemerintah membangun sistem yang lebih pragmatis pada pembinaan kemahasiswaan.

Ketiga, kerusuhan terjadi disebabkan "operasi intelijen". Standard untuk memberhentikan aksi. Dampak nya ya penangkapan dan peradilan mahasiswa. Kini pola seperti ini nampaknya masih dijalankan, sehingga perlu kewaspadaan dalam setiap aksi.

Hanya fenomena sekarang koreksi terhadap "sikap kolaboratif" Pemerintah dengan kekuatan ekonomi Asing tidak hanya dilakukan oleh mahasiswa tapi lapisan masyarakat lain, termasuk elemen keagamaan.

Dengan mengingat kembali peristiwa malari 1974 maka siapapun kelak di tahun 2019 ini yang diberi amanat rakyat untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden kiranya benar benar serius untuk membawa kembali bangsa ini mandiri, berdaulat, dan bermartabat.

Bebaskan ketergantungan dari dominasi ekonomi dan politik asing. Cina adalah negara yang menjadi prioritas utama bangsa Indonesia untuk melepaskan diri. Gerakan kemerdekaan mesti dicanangkan. Pribumi mesti kuat dan bangkit.

Janganlah enteng berjargon politik mandiri, berdaulat dan berkepribadian tapi dalam prakteknya justru berkolaborasi dengan kekuatan asing. Tunduk dan patuh pada perintah-perintahnya.

Rakyat sudah muak dengan slogan palsu, visi fatamorgana, serta ajakan berjuang dan berkorban untuk negara. Sementara pemimpin berfoya-foya menikmati komisi-komisi. Memperkaya diri, kelompok, organisasi, atau Partainya sendiri.

Tak usah menunggu rakyat melakukan mobilisasi untuk menurunkan kekuasaan yang sama sekali tidak berpihak kepada kepentingan anak negeri. Bijaklah untuk evaluasi dan lebih mawas diri.

Terlalu hina menjual negeri dengan menipu rakyat melalui visi dan misi yang sudah basi dan penuh dengan basa basi. Ujungnya korupsi dan korupsi lagi. Remember Malari! [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version