View Full Version
Jum'at, 25 Jan 2019

Belajar dari Reformasi

Oleh: M Rizal Fadillah

Reformasi adalah perubahan politik atas kekuasaan monolit. Krisis ekonomi, budaya, politik, dan tentu krisis kepercayaan adalah kondisi yang meliputinya. Cukup lama Soeharto memegang kekuasaan, tiga puluh dua tahun.

Mahasiswa berada di garda terdepan aksi di gedung DPR/MPR RI. Tokoh masyarakat dan politik juga berkiprah signifikan, termasuk figur utama gerakan HM Amien Rais. Setelah MPR dalam Sidang Umum memilih kembali sebagai Presiden, maka gerakan reformasi kemudian berhasil menjatuhkan Presiden pada tanggal 21 Mei tahun 1998.

Menjelang Pemilu legislatif 1997 dan setelahnya, sudah banyak nasehat agar Soeharto tidak maju lagi. Regenerasi tertib dapat dilakukan dengan baik. Meski kondisi Presiden di mata rakyat sedang positif, namun suara ketidak percayaan juga terdengar.

Jika "lengser keprabon" dilakukan saat itu mungkin rakyat dapat "memaafkan" kesalahan selama menjalankan pemerintahan yang dirasakan otoriter. Akan tetapi para pencari kekuasaan di lingkungan Soeharto justru memberi input "palsu" bahwa rakyat masih membutuhkan kepemimpinannya.

Dengan modal komposisi anggota DPR yang tergalang melalui pemilu yang bisa "diatur", akhirnya MPR berhasil menaikkan kembali Soeharto ke kursi jabatan Presiden. Tapi disinilah malapetaka terjadi. Selama masa ini gumpalan ketidakpercayaan semakin menguat. Akhirnya jatuhlah Soeharto pada Mei 1998 dengan tragis.

Diturunkan dengan sakit dan diproses sebagai seorang pesakitan. Tuduhannya adalah korupsi di tujuh Yayasan. Untungnya Kejaksaan Agung menghentikan penuntutan (SKP3) pada tahun 2006 dengan alasan kondisi fisik dan mental yang tak mungkin diajukan ke Pengadilan.

Kini menjelang Pemilu 2019 cukup kuat suara agar Jokowi cukup satu periode saja. Kualitas dan kemampuan memimpin negara meragukan. Tak bisa menjadi Presiden seluruh rakyat, lebih memihak pada segmen kelompok dan pendukung saja. Krisis ekonomi dan penanganan masalah politik yang tak efektif memerosotkan kepercayaan. Kalangan menengah 'agen perubahan' adalah kelompok kritis yang menghendaki ganti Presiden.

Baiknya Jokowi selesai di Pemilu 2019. Pergantian adalah penyegaran dan harapan bagi rakyat untuk perubahan kondisi ekonomi, politik, maupun budaya. Jokowi beristirahat dengan tenang. Kembali menata keluarga atau kiprah sosial lain. Semangat usaha dibangkitkan dengan modal jaringan yang makin luas. Membangun kreativitas di bidang keahliannya. Sebagai mantan Presiden tentu ada wibawa publik tersendiri yang dapat dioptimalkan daya gunanya.

Sebaliknya jika memaksakan dengan segala cara, apalagi dengan curang, untuk mendapatkan kembali jabatan sebagai Presiden, maka keterpilihan bukanlah sebuah titik. Sebagaimana Soeharto dulu kritik dan gumpalan perlawanan semakin menguat.

Dan melihat cara menangani krisis politik selama ini, maka patut diduga sulit Jokowi untuk meredam aksi dan aspirasi. Semakin otoriter semakin cepat jatuh. Bukan tak mungkin "people power" yang dinilai tak mungkin, bisa terjadi. Konsentrasi jutaan massa aksi 212 menunjukkan potensi yang dapat terbangun.

Kini jatuhnya tentu sakit. Ada seperangkat aturan menunggu kilas balik kasus. Sulit rakyat memaafkan karena faktanya sang Presiden minim jasa. Pekerjaan kecil saja didramatisasi.

Infrastruktur jadi andalan padahal berefek hutang. BUMN menjerit dan siap jual jual. Banyak masalah yang membuat rakyat mengerutkan dahi, mengurut dada, dan mengepalkan tangan karena jengkel pada perilaku masa bodoh dan main tekan.

Reformasi 1998 telah memberi pelajaran bagaimana membaca aspirasi rakyat dan pilihan sikap. Melewati garis batas berarti kecelakaan, waspada bisa menyelamatkan, dan berkorban bagi rakyat adalah kemuliaan.

Tentu saja, memaksakan dengan cara curang merupakan suatu kebodohan. Sejarah selalu berulang. L' histoire se repete. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version