Oleh:Dewi Nasjag
“Memang lidah tak bertulang, tak berbekas kata-kata.
Tinggi gunung seribu janji, lain di bibir lain di hati”
Sepenggal lirik lagu lawasIndonesia di atas agaknya cukup mendiskripsikan akan tindakan seseorang yang tidak bersinambungan dengan apa yang diucapkan. Hari ini bersungguh-sungguh berucap B, besok pagi bisa jadi berucap A kemudian lusa mendadak lupa. Sungguh sesiapa yang berlaku demikian tidaklah lebih baik dari pada yang tak berakal waras.
Baru-baru ini rakyat Indonesia sedang sangat antusias menyaksikan perhelatan debat capres yakni sebuah acara yang serentak disuguhkan oleh beberapa stasiun televisi nasional . Tak heran jika acara ini menuai banyak dukungan dari berbagai pihak termasuk pihak yang tak mau menyia-nyiakan kesempatan “mencuri” perhatian jutaan pasang mata yang menyaksikan .
Penuh pengharapan gelaran ini agar rakyat bisa terbantu dalan mendapatkan informasi seputar calon presiden mana yang layak mereka pilih. Namun sayang seribu sayang acara yang dianggap sebagai wujud kedemokratisan justru menjadi panggung sandiwara yan penuh kebohongan. Banyak didapati pernyataan-pernyataan yang terucap dari lidah sang capres yang bertolak belakang dengan realitas.
Dilansir dari sinarharapan.com, petahana dalam acara debat barkata: "Rakyat Indonesia yang saya cintai, mengelola negara sebesar Indonesia ini tak mudah, tak gampang. Sangat beruntung sekali saya punya pengalaman mengelola kota sebagai wali kota, Provinsi, dan 4,5 tahun ini mengelola negara kita Indonesia. Karena itu, butuh ketegasan dan keberanian dalam membuat kebijakan. "Kita ingin negara ini semakin baik dan saya akan pergunakan seluruh tenaga yang saya miliki, kewenangan yang saya miliki. Tidak ada yang saya takuti untuk kepentingan nasional, rakyat, bangsa negara. Tidak ada yang saya takuti kecuali Allah SWT untuk Indonesia maju," Hotel Sultan, Jakarta, Minggu (17/2/2019).
Pada pernyataan tersebut saja sebenarnya sudah menunjukkan secara gamblang atas ketimpangan lidah dan realita. Benarkah dirinya hanya takut kepada Allah?
Kehidupan seorang pemimpin bagaikan ikan di dalam aquarium. Semua orang memperhatikannya. Segala tingkah laku dan perbuatannya dicatat, ia tidak akan bisa mengelak dari sorot kamera media sosial dan media massa. Pun kebohongan sekecil apapun akan sangat mudah terlihat karena kehidupanya transparan diawasi seluruh rakyatnya.
Masih segar di ingatan, masih membekas rasa perih dalam dada,ketika membiarkan tembakan gas air mata menyerbui para Ulama yang tengah membela agama dalam Aksi Bela Islam. Juga ketika mengatakan agama dan politik itu harus dipisahkan. Pembubaran ormas Islam sebagai bukti ketidakadilan, juga kriminalisasi khilafah yang merupakan ajaran Islam. Semuamembuktikan bahwa si Dia tidak takut pada Allah Swt.
Sejatinya, pemimpin yang takut pada Allah Swt adalah yang takut melanggar hukum syara, aturan-Nya. Dan takut tidak berlaku adil pada rakyatnya bukan sekedar ucapan belaka. Ucapan takut pada Allah bila sekedar lips service untuk meraih suara, maka siap-siaplah menunggu perhitungan dari Allah Swt. Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi wa Sallambersabda:
“Akan ada setelah (wafat)ku (nanti) umaro’ –para amir/pemimpin—(yang bohong). Barangsiapa masuk pada mereka lalu membenarkan (menyetujui) kebohongan mereka dan membantu/mendukung kedhaliman mereka maka dia bukan dari golonganku dan aku bukan dari golongannya, dan dia tidak (punya bagian untuk) mendatangi telaga (di hari kiamat). Dan barangsiapa yang tidak masuk pada mereka (umaro’ bohong) itu, dan tidak membenarkan kebohongan mereka, dan (juga) tidak mendukung kedhaliman mereka, maka dia adalah dari golonganku, dan aku dari golongannya, dan ia akan mendatangi telaga (di hari kiamat). “
(Hadits Shahih riwayat Ahmad dan An-Nasaa’i dalam kitab Al-Imaroh).
Demokrasi dan Pencitraan : menyuburkan kebohongan
Penguasa adalah pemimpin yang memiliki kekuasaan untuk mengatur seluruh urusan rakyatnya. Penguasa adalah orang yang dipilih untuk memenuhi kemaslahatan umat, bukan untuk mencari keuntungan pribadi atau satu golongan tertentu. Bisa dibayangkan jika dia mencapai kekuasaan atau kepemimpinan tersebut dengan pencitraan yang penuh tipuan. Apa yang akan terjadi ?
Sungguh kebohongan demi pencitraan menjadi kelumrahan bagi para pemuja sistem Demokrasi. Sebuah sistem yang menjadi buah dari Sekularis-Kapitalisme. Karena bagi mereka apa saja akan halal selagi mendatangkan manfaat. Tentu manfaat berupa elektabilitas dan dukungan publik, yang bisa mengantarkannya pada posisi yang dikejar siang dan malam, kursi kekuasaan. Polesan yang penuh kebohongan akan selalu memghiasi perhelatan akbar lima tahunan di negri ini. Selama masih ada yang percaya produk demokrasi, maka selama itu pula pemimpin bohong akan selalu hadir di kancah pertarungan demi singgasana tersebut.
Lantas apa yang hendak diharapkan dari seorang pemimpin yang (sudah biasa) bohong? Yang akan terjadi justru adalah pengkhianatan atas amanah yang dia dapatkan dari jalan penuh kedustaan tersebut. Sayidina Umar Bin Khattab ra. pernah mengatakan,” Suatu negeri akan hancur meskipun dia makmur.” Mereka berkata,” Bagaimana suatu negeri hancur sedangkan dia makmur?” Ia menjawab ,” Jika orang-orang yang penghianat menjadi petinggi dan harta dikuasai oleh orang-orang yang fasik.”
Sejak kita merdeka sampai hari ini, sudahkah bisa merasakan kesejahteraan, hidup yang makmur tanpa kesengsaraan? Bagimana tidak sengsara, jika kekayaan negara justru telah diserah- terimakan para penguasa khianat kepada para investor asing maupun aseng.
Bahkan untuk memberi sanksi kepada kapital yang melakukan perusakan lingkungan pun tak punya nyali. Bohong besar kalau negara telah mengambil tindakan tegas atas para kapital besar yang “nakal”, sebagaimana klaim petahana pada debat pilpres yang kedua Ahad lalu (17/2).
Klaim bahwa pemerintah telah bersikap tegas kepada 11 perusahaan yang disinyalir merusak lingkungan di Indonesia telah dibantah oleh LSM bidang lingkungan hidup, Greenpeace Indonesia. Karena faktanya tak sepeser pun negara mendapat konpensasi atau denda dari kerusakan yang disebut-sebut besarnya Rp 18,3 trilun. (bisnis.com, 18/2). Belum lagi soal data-data lainnya yang tak jauh dari klaim tanpa bukti.
Masihkah mau menyerahkan amanah kekuasaan yang begitu berat kepada yang suka berbohong, dan senang mengklaim tanpa bukti? Sungguh Islam telah mengharamkan memilih pemimpin yang seperti ini. Bahkan Rasulullah SAW bersabda: “Setiap pengkhianat diberi panji pada hari kiamat yang diangkat sesuai kadar pengkhianatannya. Ketahuilah, tidak ada pengkhianat yang lebih besar pengkhianatannya daripada pemimpin masyarakat (penguasa).” (HR. Muslim, Ahmad, Abu ‘Awanah dan Abu Ya’la).
Sudah saatnya kita sebagai muslim yang berideologi dan berhukum terhadap Islam menjauhkan dari mengulang kesalahan yang sama, yaitu tertipu dengan pencitraan dan kebohongan yang kerap terjadi di musim kampanye. Memilih pemimpin haruslah dengan standar Islam.
Sebagaimana dicontohkan suri tuladan kita, Rasulullah Saw. Juga yang dicontohkan oleh para Khulafaur Rasyidin. Hanya pemimpin yang bertakwa dan (benar-benar) takut kepada Allah yang akan menjauhkan diri dari berbohong dan sifat khianat kepada rakyat.
Pemimpin seperti ini tak kan lahir dari sistem Sekuler Demokrasi. Hanya denga tegaknya sistem Islam-lah bisa terwujud sosok yang demikian. Hanya dengan menegakkan syariah dalam naungan khilafah lah mampu memunculkan suasana kondusif bagi lahirnya pemimpin terbaik. Niscaya kehadirannya akan menjadi berkah bagi seluruh alam. Insha Allah. [syahid/voa-islam.com]