View Full Version
Kamis, 28 Feb 2019

Dwifungsi Lagi?

Oleh: M Rizal Fafdillah

Banyaknya perwira tinggi dan menengah TNI yang "non job" menjadi masalah. Pemerintahan Jokowi melalui Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto menyatakan akan menempatkan para perwira aktif tersebut pada jabatan sipil di berbagai kementrian.

Rencana yang berbau dwifungsi TNI ini menimbulkan pro dan kontra. Media Tempo menyebut "selangkah lagi" ke arah dwifungsi TNI. Pemerintahan Jokowi dinilai banyak pengamat tidak memahami spirit reformasi dahulu.

Kebijakan ini adalah positif dipandang dari upaya mencari solusi dan alokasi "job" perwira TNI tersebut. Disadari ada kekeliruan kebijakan sebelumnya hingga terjadi penumpukkan perwira seperti ini. Akan tetapi pandangan negatif wajar juga muncul pada solusi tersebut. Ada dua hal yang mengemuka, yaitu :

Pertama, kekhawatiran kembalinya semangat orde baru yang kemudian dikenal dengan "Dwifungsi ABRI" dimana dengan "militerisasi" jabatan sipil mempengaruhi warna demokratisasi menjadi lebih "terkomando" dan membuat jarak lebih lebar dengan pelaksanaan asas kedaulatan rakyat.

Kedua, menarik TNI ke pusaran politik, menyebabkan TNI akan menjadi sasaran kritik, yang kini dengan perkembangan media digital, bisa lebih keras perbincangannya. Kewibawaan institusi dipertaruhkan. Dari sisi politik praktis hal ini bisa menjadi sebuah "jebakan politik" peruntuhan kewibawaan. TNI akan menjadi kehilangan netralitas dan menjadi alat pemerintah semata.

Ditengah arus "Dwifungsi Polisi" yang juga ramai diperbincangkan, ditambah dengan "Dwifungsi TNI" maka arah politik negara akan menjadi semakin tidak jelas. Alat negara itu tidak sama dengan alat pemerintah. Ini persoalan besar yang dihadapi. Rezim membuat samar perbedaannya. Akibatnya yang terjadi adalah warna otoriterisme yang sekaligus menjadi ciri dari pemerintahan yang lemah. Pemerintahan "disable" yang selalu merasa perlu ditopang habis oleh alat bantu.

UU No 34 tahun 2004 tentang TNI Pasal 6 ayat (1) menegaskan bahwa "fungsi" TNI adalah penangkal dan penindak ancaman militer dalam dan luar negeri dan pemulih kondisi akibat kekacauan keamanan. Demikian pula "tugas" sebagaimana diatur Pasal 7 ayat (1) fokus pada penegakkan kedaulatan, mempertahankan keutuhan NKRI, serta melindungi segenap bangsa dari ancaman dan gangguan keutuhan bangsa dan negara.

Dari fungsi dan tugas pokok menurut undang-undang tersebut, maka jelas alokasi perwira aktif untuk jabatan sipil bukan saja tidak relevan tapi juga melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan.

Jika Pemerintah mengambil solusi ini untuk mengatasi penumpukkan perwira "non job" maka hanya dua pilihan atasnya, yaitu Pemerintah melabrak peraturan undang-undangan, yang hal ini berarti merupakan tindakan sewenang-wenang.

Atau lakukan amandemen dulu UU TNI di atas, sehingga rakyat ikut terlibat dalam menentukan arah dan kemauan politik melalui jalur hukum yang benar.  Kita hormati hukum jika kita masih mengakui Indonesia adalah negara hukum..! [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version