Oleh: M Rizal Fadillah
Ungkapan Ketua KPU Arif Budiman yang menyatakan jika KPU curang maka siap dikutuk jadi batu.
Entah benar entah tidak berita di medsos tersebut, akan tetapi mengingatkan pada drama Si Malin Kundang yang dikutuk jadi batu karena durhaka pada Ibu nya sendiri.
Karena malu pada sang istri Malin tak mengakui ibunya. Ia malu punya ibu orang kampung yang miskin dan tak menunjang status Malin yang kaya raya dan mengklaim turunan bangsawan. Sakit hati Ibunda yang kemudian tuahnya menyebabkan Si Malin menjadi batu.
Tentu itu hanya dongeng, kecil kemungkinan Arief Budiman jika KPU curang dan durhaka pada ibu pertiwi pun berubah menjadi batu. Tapi "kutukan" bisa bentuk lain. Faktanya yang mendoakan efek buruk dari kecurangan sudah banyak.
Bahkan seorang mubaligh Gus Nur melakukan mubahalah yang ditujukan pada kecurangan KPU. Kita tak bisa berprasangka meninggal lebih dari 200 an petugas PPS dan KPPS di bawah KPU itu adalah efek doa atau "kutukan", cuma secara hukum saja sebagaimana tulisan Natalius Pigai, "korban" banyak meninggal adalah tanggungjawab KPU atas dasar "culpa" atau "alpa".
Pihak yang berwajib semestinya mulai melakukan penyelidikan atau penyidikan. Ini bukan persoalan biasa. Akibat kelelahan atau kelengahan. Hukum perlu menguji
KPU memang menjadi sorotan publik. Pertama soal jajarannya yang banyak korban tersebut. Kedua banyak kesalahan input sehingga kacau perangkaan. Ketiga pelanggaran di berbagai tempat yang menyebabkan tudingan sengaja berbuat curang.
Wajar KPU bukan dipercaya sebagai lembaga penyelesai masalah Pemilu tapi menjadi masalah dari Pemilu itu sendiri. Masyarakat sangat ragu Pemilu kini itu jujur dan adil atau memang terburuk dalam sejarah. Penuh dengan kecurangan. Bahasanya sistematis, terstruktur, dan masif.
Kembali pada kutuk mengutuk. Tentu, bila benar, siap dikutuk jadi batu itu ungkapan sompral. Sebagaimana sompralnya La Nyalla Mattalitti soal hasil Pemilu di Madura. Lehernya dipertaruhkan dan ditagih oleh masyarakat Madura. Dulu Ruhut soal potong kuping, Annas gantung di Monas. Mubahalah Gus Nur kontennya adalah kutuk mengutuk.
Di bawah Al Qur'anul Kariim. Rosulullah, SAW pernah berdoa agar kaum yang menipu dan zalim yaitu Ri'lan, Dzakwan, serta 'Ushayyah dilaknat oleh Allah SWT (HR Bukhor-Muslim). Nah betapa mengerikan jika Allah mengutuk atau melaknat kaum yang tak jujur dan adil (zalim) tersebut.
Kutuk menjadi batu. Bisa hati membatu, yang sudah tak bisa diingatkan apa-apa lagi. Merasa benar saja apa yang dikerjakan. Wajah yang membatu, tak ada rasa malu atau sesal atas segala keliru. Dan tentu saja kepala batu, menjadi angkuh berani menantang sana sini.
Lupa bahwa manusia itu bisa khilaf, lupa, dan berdosa. Jika sudah membatu seperti ini sadar atau tidak sinyal kutukan sedang berjalan. Hanya Allah yang tahu akan ketetapan akhir.
Betapa bahaya bermain-main dengan hukum Ilahi.
Kita hidup bukan di zaman batu, tapi serba modern. Karenanya perilaku politik kita pun jangan seperti kaum primitif. Hanya bermodal kekuasaan dan kekuatan fisik, bukan nalar dan kecerdasan. Mendahulukan pengerahan pasukan ketimbang pengaruh dan akal budi. Berfikir pendek merebut, mengambil, dan menindas ketimbang memberi dan simpati. Hukum rimba diberlakukan.
Moral dikesampingkan. Yang penting menang walau dengan segala cara. Manusia menjadi Srigala atas manusia lain. Presiden adalah Raja, Panglima menjadi algojo, Penasihat adalah dukun-dukun jahat. Dalam politik primitif rakyat dianggap sebagai budak. Dipaksa dan dibohongi, ditindas dan dihancurkan martabatnya.
Jika KPU dikutuk jadi batu. Komputer menjadi batu. Yang diinput batu. Makan batu. Kencing pun batu. Presiden yang ditetapkan dan diumumkan adalah batu. Selamat jadi Kepala Negara, wahai Kodok Batu! [syahid/voa-islam.com]