View Full Version
Senin, 29 Apr 2019

Pengelolaan Keberagaman dalam Islam

Oleh: Wita Nurul Aini, S.Gz (Alumni UI)

Ide Khilafah, belakangan bukan lagi menjadi pembicaraan yang asing. Pro dan kontra terhadap ide ini terus bermunculan yang membuatnya semakin hangat dalam perbincangan.

Mayoritas pihak yang menolak ide khilafah menganggap bahwa sistem negara Pancasila yang berbasis pluralisme, Bhinneka Tunggal Ika, sudah kompatibel dengan realitas keberagaman bangsa Indonesia, dan sebaliknya, sistem khilafah akan menghilangkan realitas keberagaman tersebut. Sehingga umat Islam Indonesia boleh mempunyai sistem pemerintahan sesuai dengan kebutuhan dan realitas masyarakat Indonesia sendiri.  

Nilai moral dan etika yang luhur dalam pancasila dianggap telah cukup jika diimplementasikan dengan benar. Seakan tidak dapat diganggu gugat, negara Pancasila merupakan pilihan final dan tidak bertentangan dengan syariah Islam yang harus diterima sebagai mitsaaqon ghalidzaa atau kesepakatan luhur bangsa. Ide khilafah sebaliknya, dianggap berbahaya dan mengancam persatuan dan kesatuan Indonesia dan internal umat muslim (MD, 2017).

Islam adalah agama rahmatan lil’alamiin, yang misi dan ajarannya tidak hanya ditunjukan kepada satu kelompok atau satu negara saja. Keanekaragaman identitas suku bangsa, etnis, agama, hingga adat istiadat adalah realitas yang kita saksikan di Indonesia sebagai sebuah pluralitas.

Keberagaman (pluralitas) ini sejatinya bukan hal yang baru, melainkan sudah terdapat disetiap tempat dan zaman. Namun, pluralisme sendiri merupakan kesediaan untuk menerima keberagaman untuk hidup pada tatanan masyarakat yang berbeda suku, golongan, agama dan adat hingga pandangan hidup.

Sejatinya pluralisme bukanlah paham yang secara tiba-tiba muncul dari ruang hampa. Akan tetapi, di situ terdapat penghubung yang kokoh antara diskursus sekularisme, liberalisme yang kemudian lahirlah pluralisme.  Paham ini memungkinkan untuk seseorang dan sekelompok orang untuk membiarkan hasil pemikirannya melalui budaya menjadi kebiasaan ataupun pandangan hidup yang tidak perlu dikoreksi termasuk dalam hal-hal yang bertentangan dan jauh dari nilai kepantasan.

Toleransi dalam beragama menurut faham ini seringkali mengandung unsur penanggalan aqidah kaum muslimin. Pengelolaan keberagaman dalam sistem sekuler (memisahkan agama dari kehidupan) mengandung bahaya penghalalan yang haram dan mengharamkan yang halal. Bukan tidak mungkin, perilaku menyimpang seperti LGBT dan aliran sesat menjadi legal atas dasar pluralitas.

Tuduhan bahwa ide khilafah berambisi untuk menyeragamkan budaya yang ada di dunia menjadi satu adalah sebuah kekeliruan tanpa bukti. Selain itu, pandangan bahwa posisi Islam disetarakan dengan budaya juga tidak dapat dibenarkan. Hukum-hukum Islam dalam Al-Qur’an dan Sunnah jelas-jelas berasal dari pencipta yang maha kuasa. Sedangkan budaya, adalah hasil pola fikir manusia yang beragam. Oleh sebab itu, budaya manusia berbeda-beda setiap zaman dan wilayahnya. Hukum setiap kebudayaan harus dikembalikan lagi kepada hukum syara dan bukan disesuaikan sesuai dengan kebutuhan.

Rasulullah SAW juga hidup di Arab pada masa dimana manusia hidup sangat lekat dengan suku-sukunya. Namun, pluralitas ini tetap harus dikelola sesuai dengan tuntunan syara’ untuk melahirkan kebahagiaan tanpa diskriminasi. Penegakan syariah Islam sebagai satu-satunya aturan kehidupan tidak berarti akan memaksa seluruh manusia untuk menjadi umat muslim saja. Islam juga tidak mengajarkan untuk mendiskriminasi kaum minoritas yang belum memeluk Islam.

Sebagai contoh, teladan perlindungan pemerintah kekhalifahan terhadap minoritas ditunjukan pula oleh seorang sahabat Rasul, Umar bin Khattab. Satu waktu, ketika menjabat sebagai khalifah, Umar didatangi seseorang Yahudi yang terkena penggusuran oleh seorang Gubernur Mesir, Amr bin ‘Ash, yang bermaksud memperluas bangunan sebuah masjid. Meski mendapatkan ganti rugi yang pantas, orang Yahudi itu menolak penggusuran tersebut. Ia datang ke Madinah untuk mengadukan permasalahan tersebut pada Khalifah Umar.

Seusai mendengar ceritanya, Umar mengambil sebuah tulang unta dan menorehkan dua garis yang berpotongan: satu garis horizontal dan satu garis lainnya vertikal. Umar lalu menyerahkan tulang itu pada sang Yahudi dan memintanya untuk memberikannya pada Amr bin’Ash. “Bawalah tulang ini dan berikan kepada gubernurmu. Katakan bahwa aku yang mengirimnya untuknya.”

Meski tidak memahami maksud Umar, sang Yahudi menyampaikan tulang tersebut kepada Amr sesuai  pesan Umar. Wajah Amr pucat pasi saat menerima kiriman yang tak diduga nya itu. Saat itu pula, ia mengembalikan rumah Yahudi yang digusurnya. Terheran-heran, sang Yahudi bertanya pada Amr bin ‘Ash yang terlihat begitu mudah mengembalikan rumahnya setalah menerima tulang yang dikirimkan oleh Umar.

Amr menjawab, “Ini adalah peringatan dari Umar bin Khattab agar aku selalu berlaku lurus (adil) seperti garis vertikal pada tulang ini. Jika aku tidak bertindak lurus, maka Umar akan memenggal leherku sebagaimana garis horizontal di tulang ini.

Jika dikatakan bahwa pluralisme ini bertujuan untuk menghilangkan berbagai konflik kekerasan antar umat beragama yang kerap terjadi karena enggan menghargai keberagaman. Maka hal ini dapat dijawab bahwa Islam telah mencontohkan bagaimana hidup saling menghormati dan menghargai antar sesama pemeluk agama yang berbeda-beda.

Sejarah telah mencatat kegemilangan Islam dalam hal ini. Islam menghargai keberagaman, tapi hal itu bukan berarti kaum muslimin harus menanggalkan akidah bahwa agama Islam adalah agama yang benar dan memberikan keselamatan bagi umat manusia.

Konsep menghargai keberagaman (pluralitas) tanpa membenarkan pluralisme itupun banyak ditunjukkan dalam ayat-ayat yang menerangkan tidak ada paksaan untuk memeluk agama Islam (Muslim, 2010). [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version