View Full Version
Selasa, 30 Apr 2019

Menanggapi Fenomena Label Wisata Halal

Oleh: Salsabila Maghfoor (Jurnalis, Pegiat Literasi) 

Tidak bisa dipungkiri, fenomena hijrah saat ini begitu menjamur euforianya. Lima tahun hingga beberapa tahun sebelumnya kita tidak sampai bisa mengira bila hari ini gelombangnya kian membesar seperti gulungan bola salju yang terus melaju.

Tidak ada yang bisa mengelak, sebab ianya mestilah datang dari Sang Pemberi Hidayah yang bersambut baik dengan laju keimanan para pencari hidayah dalam menjemputnya.

Fenomena ini yang akhirnya disadari secara penuh pengaruhnya oleh masyarakat yang ada bahkan oleh para pemilik kepentingan tak ketinggalan para pemangku kekuasaan. Pada banyak bisnis yang bertebaran, tagline syar’i seolah menjadi magnet tersendiri bagi kacamata masyarakat yang semakin islami hari ini.

Tentu saja peluang ini tidak diabaikan begitu saja oleh mereka, tidak heran bila kemudian muncul Guest House dan hotel syar’i, Laundry syar’i, Brand Hijab syar’i, Bank syar’i, asuransi syar’i, dan masih banyak lagi.

Di Malang, dalam beberapa waktu terakhir bahkan Pemkot Malang secara khusus telah menfokuskan wilayahnya untuk terus memacu pertumbuhan pariwisata halal. Hal ini dilakukan utamanya untuk membidik sasaran wisata mancanegara (wisman) dari kawasan Timur Tengah. Selain wisata heritage yang menjadi andalan, konsep Halal Tourism juga dinilai bisa menjadi alternatif yang bisa dikembangkan di Kota Malang.

Wali Kota Malang, Sutiaji menjelaskan bahwa sebenarnya dua tahun lalu kota Malang sempat mendeklarasikan halal tourism tersebut. Namun, saat itu kota Malang kalah dengan Lombok. Untuk itu, kali ini dirinya ingin kembali mengembangkan konsep tersebut di kota Malang (malangtimes.com).

Yang menariknya, batasan embel-embel halal atau syar’i ini hanya dimaknai secara umum saja. Misal tempatnya ada pemisahan laki-laki dan perempuan, berpakaian sopan, disediakan tempat sholat serta ibadah yang nyaman dan bersih, tidak menjual barang yang diharamkan, dan aspek-aspek umum lainnya. Padahal makna syar’i tidak hanya sekedar makna, lebih jauh lagi ianya adalah segala apa yang sesuai dengan pengaturan Allah Rabb Semesta yang tertuang dalam hukum syara’.

Perlu diingat, walikota Malang dalam pembukaan Bazaar Wisata Halal di kawasan Balaikota Malang (22/10/18) yang lalu menegaskan bahwa wisata halal adalah bukan berarti semua pelayanan harus syar’i. Namun menurutnya, adalah bagaimana menerapkan nilai-nilai atau aturan agama agar apa yang disajikan benar-benar mampu terjamin kehalallannya.

Bak gaung bersambut, komitmen Pemerintah Kota Malang (Pemkot Malang) untuk mengembangkan pariwisata halal mendapat apresiasi dari pemerintah pusat. Kementerian Pariwisata (Kemenpar) RI menetapkan Kota Malang (Malang Raya) sebagai destinasi wisata halal unggulan yang menjadi prioritas pengembangan pada 2019.

Kasi Promosi Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Malang Agung H. Buana mengungkapkan bahwa saat ini, Kemenpar tengah gencar menarik wisatawan muslim dengan melalui destinasi wisata halal. Implementasi wisata halal dikuatkan dengan penyediaan sarana prasarana yang halal. Harapannya, semakin banyak wisatawa,  khususnya dari kawasan Timur Tengah, yang berkunjung ke Malang.(malangtimes.com).

Muslim Travel Index (IMTI) 2019 dalam laporannya menyebutkan, 10 destinasi wisata halal unggulan Indonesia (Lombok, Aceh, Riau dan Kepulauan Riau, Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat, Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur (Malang) dan sekitarnya, Sulawesi Selatan dan sekitarnya mempunyai nilai rata-rata sebesar 55, tertinggi skor 70 dicapai destinasi Lombok, sedangkan skor terendah 33 diperoleh destinasi Sulawesi Selatan (Makassar dan sekitarnya).

Dari sini dapat kita lihat, motif utama pengarusan destinasi wisata halal adalah untuk lantas menarik wisatawan muslim dari luar negeri untuk datang ke Indonesia, khususnya pada tempat-tempat yang direkomendasikan diatas. Muaranya? Lagi-lagi pada aspek kantong keuntungan.

Hal ini amatlah disayangkan tentunya. Padahal halal itu bukan sekedar embel-embel penarik semata, bukan semata pemanis ala kadarnya. Ia mesti dipahami secara utuh sebagai apa yang diperintahkan oleh Allah kepada hambaNya.

Bukankah telah jelas ketetapannya dalam Al-Qur’an dan As-sunnah beserta seluruh pedoman agama, bahwa ketaatan yang utuh kepada Allah mestilah diupayakan oleh setiap hamba, meniadakan Illah dan sesembahan lain selain Allah dengan hidup semata berdasar ketundukan pada Allah sahaja. [syahid/voa-isam.com]


latestnews

View Full Version