View Full Version
Selasa, 30 Apr 2019

Urgensi Ijtima Ulama III

Oleh: M Rizal Fadillah

Setelah Ijtima Ulama I yang mencalonkan 2 nama untuk pasangan Prabowo dan Ijtima Ulama II mendukung dan membuat pakta integritas dengan pasangan Prabowo-Sandi, maka akan digelar Ijtima Ulama III yang intinya meyakini kemenangan Prabowo Sandi dan menyikapi kecurangan Pemilu dalam kajian Hukum Tata Negara dan menurut Syari'at.

Tentu sangat strategis Ijtima Ulama dan Tokoh III ini dalam situasi Pemilu yang dinilai tidak jujur dan tidak adil. Demokrasi yang tercederai oleh pemegang kekuasaan.

Memang Ijtima Ulama tidak mendasari pada pendekatan representasi organisasi kemasyarakatan Islam formal sehingga keterlibatan ulama dan tokoh lebih pada keterkaitan ideologis. Sebagaimana aksi-aksi 411, 212 atau pun reuni 212 yang lebih kental garis irisan personal dan ideologis ketimbang organisasional.

Namun hampir dapat dipastikan "keterwakilan" ormas-ormas Islam maupun lembaga da'wah itu ada, terasa, dan nyata. Hakekatnya ini adalah kelompok perlawanan umat Islam terhadap kecurangan dan kelicikan rezim. Ijtima Ulama dan tokoh III fokus pada sikap politik umat terhadap proses dan hasil sementara Pemilu. Khususnya Pilpres. Keyakinan bahwa Prabowo-Sandi adalah pemenang.

Usaha rezim untuk menghalangi acara musyawarah ini ada. Hal ini terlihat dari pernyataan dari "orang Presiden" seperti Moeldoko maupun Wiranto. Tapi sebagai wahana berkumpul, bersilaturahmi, maupun bersikap tentu tak beralasan hukum untuk melarang kegiatan tersebut.

Getar ketakutan pun terasa. Masalahnya yang dibahas utamanya adalah kecurangan. Andai fatwa perlawanan ditetapkan maka akan memberi semangat pada umat khususnya untuk melawan berbagai bentuk kecurangan yang terjadi di Pemilu 2019. Apalagi sampai keluar Maklumat Jihad. Atau akan ada agenda berkesinambungan Ijtima Ulama IV dan seterusnya.

Umat perlu komando atau sekurangnya koordinasi perjuangan menghadapi masalah Pemilu. Akan tetapi tidak boleh berhenti disini. Kita bangsa ini menghadapi krisis budaya, krisis ekonomi, dan krisis politik. Krisis budaya, hilang budaya malu.

Koruptor yang bisa senyum-senyum, berbohong dengan terang-terangan dan bangga, permisif pada kebobrokan moral seperti narkoba, group lgbt dan film lgbt yang lolos beredar bebas. Krisis ekonomi defisit APBN per januari 2019 45 Trilyun, Defisit transaksi berjalan 2018 minus 451 trilyun, Infrastruktur di pacu berefek hutang, investasi asing jor-joran, Proyek OBOR China yang tak bisa dianggap sederhana. Kemandirian ekonomi bangsa berantakan.

Krisis politik menyangkut demokratisasi yang terancam, otoritarian menjadi pola kekuasaan, pemilu curang, poros Beijing diperkuat, hingga kriminalisasi ulama dan peminggiran politik keumatan. Dengan bahasa deradikalisasi, intoleransi, atau ekstrimisme, kekuatan umat Islam dicoba untuk dilumpuhkan.

Ijtima Ulama dan Tokoh adalah langkah strategis perlawanan pada ketidak adilan dan ketidak jujuran. Karenanya mesti didukung optimal. Pemerintah mesti koreksi diri atas kekisruhan pengelolaan negara. Republik Indonesia terancam babak belur atas cara penyelenggaraan negara yang seenaknya, mendahukukan kepentingan partai, golongan dan dirinya. Sangat terasa bahwa segelintir orang yang berkepentingan dan melakukan kejahatan politik tengah menguasai negara dan rakyat. Presiden harus segera diganti demi keselamatan negeri.

Selamat bermusyawarah para ulama dan tokoh tokoh bangsa. Moga bermashlahat bagi umat dan rakyat. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version