View Full Version
Jum'at, 03 May 2019

Kesejahteraan untuk Siapa?

MASIH teringat jelas bagaimana persiapan Pemkab Banyuwangi jelang pertemuan IMF-World Bank  di Bali. Akses jalan menuju tempat wisata Gunung Ijen dan Taman Nasional Alas Purwo akhirnya diperbaiki guna menyambut para tamu IMF- World Bank yang akan berlibur ke Banyuwangi. Dana yang dikeluarkan untuk perbaikan jalan pun cukup fantastis yakni mencapai Rp 60 miliar lebih yang berasal dari APBN.

Tak hanya diperbaiki, di beberapa titik tertentu juga diperlebar menjadi 6 meter hingga 8 meter (10/08/18). Namun sangat disayangkan tak semua jalan rusak mendapat perhatian yang sama dari Pemerintah Banyuwangi. Di Kecamatan Genteng misalnya, warga harus turun ke jalan guna menagih janji Pemerintah untuk perbaikan jalan yang kondisinya sudah rusak parah. Kondisi jalan tersebut banyak dikeluhkan warga dan para pengguna jalan karena tidak pernah mendapat perhatian serius (29/04/19).

Tak hanya di Banyuwangi, kerusakan jalan nyatanya juga sering dikeluhkan oleh masyarakat di daerah lain. Di Desa Cangkring, Kecamatan Jenggawah, Kabupaten Jember jalan rusak bertahun-tahun namun tak kunjung mendapat perhatian dari Pemkab Jember. Padahal kata Lukman, salah seorang warga Desa Cangkring “Disini itu, sudah lama jalan berlubang tidak diperbaiki. Dalam satu bulan bisa tiga sampai empat kali terjadi kecelakaan lalu lintas” (05/02/19).

Sementara itu, di Pandeglang jalan rusak bertahun-tahun namun tak kunjung diperbaiki membuat warga berinisiatif untuk mengumpulkan dana guna perbaikan jalan tersebut. Ironisnya di tengah sulitnya aktivitas warga karena akses jalan yang buruk, Bupati Pandeglang justru mengutamakan pembelian mobil dinas seharga 1,9 miliar (12/03/19).

Mengamati kondisi yang demikian tentu memunculkan sebuah pertanyaan, untuk siapakah sesungguhnya kesejahteraan itu. Ketika keberadaan jalan yang layak menjadi sangat dibutuhkan oleh rakyat justru dikesampingkan penanganannya, sementara tamu asing dan pengadaan kendaraan mewah diutamakan. Inilah bobroknya kapitalisme yang menjadikan manfaat sebagai asas berpijak. Segalanya diukur dengan ada tidaknya keuntungan serta syarat akan kepentingan, sehingga rakyat tak lagi diprioritaskan.

Di dalam Islam terkait pembangunan Infrastruktur yang sangat dibutuhkan rakyat dan menundanya bisa menyebabkan kerusakan atau kerugian bagi umat sebagaimana kasus di atas, maka pemerintah wajib menyegerakan untuk pelaksanaan pembangunannya dan mengesampingkan kebutuhan lain yang sifatnya tidak mendesak. Dalam hal ini tanpa melihat lagi ada atau tidak adanya APBN (Baitul Mal).

Apabila dana dari Baitul Mal mencukupi maka wajib di biayai dari sumber tersebut, namun jika tidak maka negara wajib membiayai dengan cara memungut pajak kepada rakyat yang memiliki kemampuan membayar. Sementara itu, jika pemungutan pajak dirasa memerlukan waktu yang lama sedangkan infrastruktur mendesak untuk dibangun maka negara boleh meminjam pada pihak lain, seperti pada rakyat yang memiliki kelebihan harta atau pun pada negara lain yang terikat perjanjian dengan daulah tanpa terikat transaksi riba. Dan pengembalian hutang tersebut akan dibayar dari dana pajak yang telah dikumpulkan dari masyarakat.

Islam memiliki pengaturan yang sangat jelas dan rinci dalam memberikan solusi untuk masalah tersebut. Sebab kesejahteraan rakyat adalah hal yang sangat diperhatikan di dalam Islam. Oleh karenanya negeri ini sesungguhnya membutuhkan diterapkannya hukum Islam dalam pengaturan infrastruktur. Bahkan lebih dari itu aturan Islam mampu dengan baik mengatur berbagai aktivitas manusia dalam ranah pendidikan, kesehatan, ekonomi maupun peradilan.*

Sri Wahyuni, S.Pd

Guru tinggal di Banyuwangi, Jawa Timur

 

 


latestnews

View Full Version