View Full Version
Senin, 06 May 2019

Islamofobia, Virus Barat yang Terus Mewabah

ISLAMOFOBIA nampaknya sulit dihilangkan dari pikiran kaum kafir. Menyikapi pasca bom di Sri Lanka, pemerintah Sri Lanka mulai memberlakukan pelarangan penutup wajah di muka umum. Hal ini diterapkan setelah serangkaian serangan bom bunuh diri pada hari Paskah yang menewaskan sedikitnya 250 orang.

Sudah banyak negara-negara di dunia yang melarang perempuan muslimah mengenakan cadar di muka umum. Diantaranya, negara-negara Eropa seperti Perancis, Denmark, Belanda, Austria, Norwegia, Italia, dan Spanyol. Di kawasan Afrika, negara yang mengikuti jejak Eropa adalah Chad, Gabon, wilayah utara Kamerun, wilayah Diffa, dan Republik Kongo. Di Asia juga sudah menerapkan pelarangan cadar, yakni Cina terhadap muslim uighur.

Bagaimana dengan Indonesia? Tak jauh beda. Virus Islamofobia mewabah di negeri ini. Pada bulan Maret tahun 2018 lalu, UIN Sunan Kalijaga melarang mahasiswinya memakai cadar. Jika mereka menolak setelah mendapat pembinaan dari pihak kampus, mereka terancam dikeluarkan. Itulah sekelumit fakta yang terjadi di negara-negara dunia terkait Islamofobia yang tengah menggejala. Tak terkecuali Indonesia sebagai negeri mayoritas muslim terbesar di dunia.

Pelarangan cadar seringkali dilatarbelakangi dengan isu radikalisme dan terorisme. Padahal, antara cadar dengan radikalisme tak memiliki hubungan sama sekali. Sebab, masalah pakaian tidak bisa dijadikan dasar seseorang terpapar pemikiran radikal. Stigma dan simpulan ini bermula sejak proyek global War On Terorism dilancarkan AS.

Sesiapa pasti tahu GWOT bukan untuk memerangi terorisme, namun sejatinya untuk memerangi Islam dan ajarannya. GWOT hanya dijadikan kedok untuk menyerang Islam dan syariatnya. Memonsterisasi ajarannya hingga memunculkan rasa takut terhadap Islam. Dari sinilah muncul yang namanya gejala Islamofobia.

Seorang penulis buku, Edward E.Curtis IV mengatakan Islamofobia dan terorisme anti-muslim muncul dari anggapan bahwa muslim bukanlah bagian dari Barat. Kebencian anti-muslim pun menggejala di Eropa. Ia mengatakan selain rasisme anti-kulit hitam dan anti-semitisme, salah satu pilar gerakan terorisme putih global kontemporer adalah kebencian anti-muslim.

Kaum muslim yang menjadi minoritas disana tak jarang mendapat perlakuan diskriminatif dan penindasan. Hanya karena identitas keislamannya. Tindakan teror supremasi kulit putih terhadap muslim pernah dilakukan Anders Breivik—teroris Norwegia yang membunuh 77 orang pada tahun 2011—dan Brent Tarrant, tersangka dalam pembunuhan 50 Muslim di Christchurch, Selandia Baru.

Respon dunia Barat terhadap terorisme yang dilakukan bangsa kulit putih sangat berbeda jauh jika pelaku teror diketahui seorang muslim. Ucapan belasungkawa dan kecaman pemimpin-pemimpin dunia terhadap aksi teror di Selandia Baru hanya cukup disampaikan melalui akun twitter mereka. Beda halnya bila pelaku teror seorang muslim, mereka kompak mengecam, mengutuk, dan menyeru untuk sama-sama memerangi terorisme.

Fenomena Islamofobia juga dipicu oleh ketakutan Barat dengan migrasi besar-besaran muslimin ke Eropa. Kaum muslim yang bermigrasi ke Eropa adalah korban perang di negaranya. Secara tidak sadar, kaum kafir Baratlah yang justru menjadi pendorong Islamisasi di Eropa makin meningkat. Bagaimana bisa demikian? Sebab, para imigran muslim yang berdatangan ke Eropa adalah para korban perang dengan dalih memerangi terorisme. Sudah jamak diketahui keterlibatan Barat memerangi terorisme di timur tengah justru mengakibatkan konflik perang yang berkepanjangan.

Jika memang Barat konsisten memerangi terorisme, harusnya mereka juga memerangi negara-negara yang melakukan pembantaian terhadap kaum muslim. Seperti Israel terhadap Palestina, Myanmar terhadap Rohingya, Cina terhadap Uighur, dan lainnya. Alih-alih mengirim tentara, membela nasib kaum muslim di mata internasional saja tak pernah serius dilakukan.

Islamofobia akan terus menjadi virus yang terus mewabah. Mereka senantiasa memproduksi virus Islamofobia untuk menghalangi kebangkitan Islam. Jika Islam bangkit, ideologi kapitalis-sekuler yang dijajakan ke neger-negeri muslim tidak laku lagi. Jika kaum muslim bergerak melawan, hegemoni mereka dipastikan tumbang. Itulah yang mereka takutkan.

Untuk menghalau virus ini, disinilah tugas kita bersama menjelaskan dan mendakwahkan Islam ke tengah-tengah umat. Menjelaskan kebobrokan ideologi kapitalis-sekuler dan memahamkan umat agar mengambil Islam sebagai jalan hidup. Berislam secara kaffah, bukan setengah-setengah.*

Chusnatul Jannah

Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

 


latestnews

View Full Version