View Full Version
Rabu, 08 May 2019

Fungsionalisasi Ijtima

Oleh: M Rizal Fadillah

Ijtima Ulama dan Tokoh III telah digelar dan menghasilkan lima keputusan yang pokoknya meyakini Pemilu saat ini terjadi kecurangan sistematis, terstruktur, dan masif. Lalu mengingatkan polusi moral bangsa seperti narkoba, lgbt, sex bebas.

Mendesak diskualifikasi paslon 01 karena curang. Memotivasi umat untuk berjuang menegakkan hukum, keadilan dan melawan kejahatan khususnya kecurangan. Serta amar ma'ruf nahyi munkar terhadap kecurangan dan kezaliman itu adalah langkah konstitusional.

Hasil Ijtima Ulama dan Tokoh III ini tidak ada artinya jika tidak terimplementasi dengan baik di masyarakat. Menjadi putusan semantik yang tidak bermakna sebagai landasan perjuangan. Karenanya agar ada maslahat optimal, maka beberapa catatan mesti menjadi perhatian bersama dan seksama.

Pertama, melakukan sosialisasi masif baik kepada organisasi Islam, lembaga da'wah, masjid, para mubaligh atau elemen penting umat Islam lainnya. Minimal disadari bahwa Pemilu 2019 ini terjadi kecurangan yang nyata dan mesti dilawan dengan semangat da'wah amar ma'ruf nahi munkar.

Kedua, kerjasama dan komunikasi yang intens dengan BPN dan partai koalisi pendukung Prabowo-Sandi agar terjadi langkah yang sinkron dan terpadu. Saling menguatkan satu dengan yang lain. Perlu menghindari egosentrisme perjuangan. Satu gerak, satu langkah, dan satu kemenangan bersama.

Ketiga, Aksi-aksi mengkritisi Bawaslu atau KPU sangat bagus juga dilengkapi dengan bekal putusan dan rekomendasi Ijtima. Agar basis yang sama tersuarakan keras, yaitu kecurangan yang sistematis, terstruktur, dan masif.
Tema "Lawan Kecurangan" atau "Lawan Kejahatan Pemilu" sangatlah strategis.

Keempat, diseminasi dan konsolidasi lanjutan mesti intensif di bulan Ramadhan sebagai "syahrul jihad". Agenda ulama dan tokoh perlu diperjelas baik sebelum 22 Mei/17 Ramadhan maupun pasca nya. Kesibukan umat dalam persiapan mudik tidak boleh mengganggu agenda perjuangan melawan kejahatan Pemilu.

Kelima, mengingat penanggungjawab kekacauan Pemilu adalah Pemerintah, maka "dosa" Pemerintah mesti mendapat "sanksi". Kecil kemungkinan terjadi "taubat" politik, karenanya sanksi akhir adalah hukuman pada kesalahan atau kejahatan Pemerintah pada masyarakat, rakyat, dan bangsa Indonesia.
Ijtima Ulama dan Tokoh IV sudah mesti disiapkan. Bila dinilai perlu sampai pada putusan "Maklumat Jihad". Kemungkaran mesti diubah sesuai Syari'at dan Konstitusi.

Keenam, mewaspadai rekonsialiasi untuk menjustifikasi kecurangan atau kejahatan politik. Machiavellisme selalu muncul dalam mempertahankan kekuasaan. Umat Islam setuju ada "Konsensus Nasional" akan tetapi konsensus tersebut berbasis perubahan ke arah yang lebih baik. Menata sistem ketatanegaraan yang disesuaikan dengan Konstitusi Negara. Tentu mulainya dari pergantian Presiden. Jokowi sudah tak bisa dipertahankan.

Fungsionalisasi Ijtima adalah kemestian karena memang umat perlu pedoman. Jika Prabowo menyatakan "tidak akan menyerah" begitu juga dengan Amien Rais, Habib Rizieq, dan tokoh lainnya, maka umat akan kuat dalam berjuang secara berkelanjutan.

Penjahat Pemilu hanya akan menang sementara saja. Menang berdiri di duri kecurangan itu sesungguhnya tidak membahagiakan. Senyum palsu dibalik rintihan kepedihan dan kegelisahan sendiri. Sebentar juga tumbang.

Bukan hanya pulang kandang, tapi menuju proses hukum yang sudah menunggu sang pecundang. Karena memang faktanya ia telah banyak berbuat curang. [syahid/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version