Oleh: M Rizal Fadillah
Kulminasi prestasi atau titik nadir degradasi Pemerintahan Jokowi adalah Pemilu. Karena ini menyangkut legitimasi. Baik legitimasi hukum maupun politik.
Di tengah bukti empirik bahwa hukum menjadi alat atau kepanjangan politik maka legitimasi politik menjadi terpenting. Berbicara negara hukum saat ini mudah dipatahkan oleh praktek politik yang mendahulukan kekuasaan ketimbang aturan. Pemerintahan Jokowi memiliki habitat buruk seperti ini.
Pemilu 2019 dilaksanakan di masa Pemerintahan Jokowi. Proses dan hasil serta respons dari Pemilu adalah wajah Pemerintahan Jokowi. Jika rakyat melihat Pemilu kini cacat, tinggi nuansa rekayasa, serta hanya sarana untuk memperpanjang kekuasaan, maka artinya Pemilu itu memang dimaksudkan untuk menjadi alas legitimasi.
Konsekuensinya Pemerintah Jokowi nantinya justru yang akan kehilangan legitimasi. Dapat saja dipaksakan ditetapkan kemenangan, akan tetapi penetapan itu adalah awal dari delegitimasi. Berikutnya adalah aksi-aksi. Ini proses politik yang bergerak di tataran hukum kausalitas.
Sebagai Presiden Jokowi bisa mengerahkan semua perangkatnya. Ancam ini dan itu hingga menembak mati lah. Tapi dalam status Presiden yang bertanggungjawab Jokowi juga yang akan menjadi sasaran. Desakan agar mundur atau diturunkan akan terdengar mulai dari sayup sayup hingga teriakan keras. Rakyat yang sudah tak percaya adalah pemegang kedaulatan sebenarnya.
Persoalan tidak selesai di pengumuman KPU karena KPU nya pun sejak dini sudah rapuh serapuh kardus kreasinya. KPU sulit ajeg dan kredibel karena melupakan jutaan rakyat yang memelotinya.
KPU yang santai dan tak peduli dengan ratusan jajarannya yang meninggal dan ribuan yang sakit. KPU bukan hanya sibuk otak atik angka palsu tapi bentuk satgas penyelidikan internal kematian jajaran di bawahnya. Tidak cukup dengan pernyataan "kelelahan". Bencana nasional di ruang KPU ironi jika disikapi dengan santai dan seperti hal biasa saja. KPU mengalami ancaman serius delegitimasi. Mungkin ke depan layak dikriminalkan
Jika tidak ajeg, jujur, dan adil, maka KPU layak menjadi pesakitan. Tergencet pula oleh tekanan atau sandera penguasa yang awalnya memproteksi. Dalam politik hal ini sering terjadi. Meninggalnya Ketua KPU dahulu masih menyisakan misteri.
Ketika Legitimasi KPU dan Presiden ambruk, maka pergantian kepemimpinan nasional adalah keniscayaan. Gelombang semangat perubahan sulit untuk dibendung.
Awalnya memang pasti pembendungan itu dicoba, akan tetapi ujungnya bendungan akan jebol juga. Air bah aspirasi rakyat tak tertahankan. Mengingat niat awal yang keliru, skenario yang vulgar, serta tentu kekuatan Allah yang ikut "bergerak", maka baiknya Pak Jokowi sejak dini sudah mulai ancang-ancang ambil pilihan untuk mundur atau dimundurkan.
Opsi ini adalah pilihan absolut bagi pemimpin yang telah kehilangan kepercayaan dan ambruknya legitimasi. [syahid/voa-islam.com]