View Full Version
Kamis, 09 May 2019

Industri Digital dan Tergesernya Visi Generasi

SAAT ini kita telah memasuki dunia digital yang memungkinkan banyak hal dapat dikendalikan dari segala tempat melalui jaringan internet dengan perangkat gadget / smartphone. Hal ini merupakan sebuah peluang yang cukup besar. Peluang yang begitu menantang ini, telah mengantarkan indonesia ke pintu persaingan ekonomi.

Sejumlah agenda menggarap potensi ekonomi digital dilakukan pemerintah, terutama dari sisi regulasi, kementerian koordinator perekonomian mengeluarkan paket kebijakan ekonomi jilid 14 soal e-commerce dan melahirkan startup lewat gerakan nasional 1.000 startup digital yang digalakkan oleh kementerian komunikasi dan informatika dengan bekerjasama pihak terkait.(indosatoreedo.com)

Indonesia menjadi negara dengan jumlah pemuda yang sangat besar. Data badan pusat statistik (bps) tahun 2017 menunjukkan, jumlah anak muda di indonesia mencapai 24,27 persen total penduduk. Itu berarti satu dari 4 empat orang di indonesia berusia antara 16 sampai 30 tahun.

Potensi industri digital di indonesia memang tidak dapat dipandang sebelah mata. Indonesia sendiri diakui memiliki potensi yang besar di bidang ekonomi digital. Dengan jumlah pengguna internet 132 juta  pengguna media sosial 130 juta mobile subscription 177,9 juta jiwa, dan pengguna ponsel aktif 92 juta. Dari semua penguna internet, 80 persennya di kendalikan oleh generasi milenial (rentang usia 17-35 thn). Diperkirakan nilai bisnis ekonomi digital Indonesia mencapai USD 130 miliar atau setara Rp 1.730 triliun hingga 2025. (detikfinance.com)

Sebagai negara yang mengalami bonus demografi yakni populasi anak muda yang melimpah, indonesia harus memberdayakan generasi mudanya untuk kegiatan produktif terutama bagi perekonomian. Dilema yang dihadapi sekarang adalah bagaimana pemuda menempatkan dirinya dalam pembangunan ekonomi apakah berkontribusi dalam kewirausahaan   (entrepreneurship) ataukah justru terbelenggu hanya dalam kebiasaan konsumtif (consumerism). Kedua hal tersebut menjadi bagian dari siklus ekonomi kapitalis yang tidak bisa dihindarkan.

 

Era Digital  dan Permisif Hedonisnya Lifestyle Generasi

Eksistensi media sosial sebagai salah satu simpul edukasi publik yang banyak diakses generasi milenial saat ini, disadari atau tidak justru menjadi tools untuk mengaruskan tata kehidupan permisif dan menawarkan life style hedonis di kalangan generasi. Sebagai native digital, generasi milenials begitu mudah mengakses konten digital tanpa hambatan. Industri digital yang hanya mementingkan viral dan mengejar keuntungan, tak lagi memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan kepada masyarakat utamanya kalangan generasi.

Beberapa  dampak negatif dari digitalisasi ekonomi ialah, pertama, mudahnya mengakses konten porno. Ketika mengakses dunia digital akan banyak bertebaran konten iklan yang mengandung pornografi dan pornoaksi yang begitu mudah untuk diakses. Tontonan di berbagai linimasa justru menjadi tuntunan saat mencapai viral dan bertahan di ruang virtual.

Kedua, lahir generasi pemalas. Masifnya digitalisasi ekonomi di kalangan generasi muda, memberiikan pengaruh bagi lifestyle mereka. Dengan begitu mudahnya mereka mendapatkan uang. Yang mereka hasilkan dari membuat Konten hiburan, challenge tak berfaedah, prank tak bermutu, katanya sih kreativitas. Tak peduli meski kontennya tak layak untuk disajikan. Parahnya, generasi kita merasa bangga saat mampu menirukan konten-konten tersebut. Rasanya tak berlebihan jika dikatakan bahwa industri digital saat ini turut andil dalam  mengimpor budaya liberal yang merusak generasi.

Hal ini sudah selayaknya memantik kekhawatiran berbagai pihak. Di satu sisi, kemajuan teknologi memang memudahkan dalam mengakses banyak hal. Disisi lain system saat ini tak berpikir mengenai dampak negatif yang ditimbulkan. Pola pikir kapitalistik telah menumpulkan nalar untuk sekadar peduli pada generasi penerus bangsa. Keuntungan materi telah mengaburkan daya kritis mereka mengenai cost social yang harus dibayar bangsa ini akibat rusaknya generasi.

Jika hal ini terus berlanjut, maka generasi muda akan kehilangan identitasnya. Generasi muda menjadi generasi instan, yang jauh dari berpikir politis dan solutif. Krisis multi dimensi pun tak terelakkan. Mulai dari krisis kemanusiaan, hingga lingkungan. Visi generasi yang sesuai dengan tujuan Pencipta menciptakan manusia sebagai hamba Allah dan untuk menjadi khalifah dimuka bumi tidak akan terwujud. Yang ada fenomena ini membuat generasi semakin jauh dari agamanya.



Teknologi dan Negara

Kemajuan teknologi bukan berarti bebas nilai. Sudah selayaknya perkembangan teknologi ini diiringi dengan soft skill berupa ketakwaan yang harus ada pada diri setiap individu, adanya kontrol masyarakat terhadap berbagai materi yang disajikan, serta pentingnya peran negara dalam menjalankan tugasnya sebagai pengurus urusan rakyatnya.

Negara bukanlah entitas yang lepas dari segala hal yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Sebaliknya justru wajib memperhatikan segala kemaslahatan maupun yang berpotensi menimbulkan mudarat bagi rakyatnya. 

Negara juga harus menempatkan  fungsi media sebagai sarana edukasi tsaqofah keislaman dan menancapkan pemahaman akidah pada rakyatnya. Alhasil, perkembangan teknologi berjalan sebagaimana fungsinya yakni mempermudah transaksi masyarakat tanpa melanggar apa yang telah ditetapkan syariat. Wallahua’lam bisshawab.*

Novia Roziah

Penulis Blogger


latestnews

View Full Version