View Full Version
Selasa, 11 Jun 2019

Mengilhami Kebenaran dari Objek Kritikan

ADA yang menarik dari pernyataan salah seorang tokoh yang belakangan ia sedang mencari-cari sosok bernama Nasjo, akronim dari Nasrudin Joha dan bersikeras mengungkap siapa sosok dibalik tulisan-tulisannya yang seringkali viral. Tulisan-tulisan Nasjo dianggap mengganggu iklim peradaban dunia maya yang dibangun untuk perdamaian.  Atas alasan itulah Gus Muwafiq mencari tokoh penulis dibalik nama Nasrudin Joha (www.badriologi.com / 06/06/2019)

Bila ditelusuri bersama, tulisan-tulisan penulis dengan nama pena Nasrudin Joha ini telah mewarnai jagat media sosial sejak Juni 2018 silam. Dalam blog-nya, sudah ada sekitar 108 tulisan yang tayang disana. Secara faktual, tulisan bernada kritik terhadap problematika kepemimpinan yang mewarnai rezim saat ini memang sangat lugas, dan tidak jarang analogi yang ringan diberikan sebagai gambaran contohnya berikut analisanya.

Marilah kita sejenak menarik garis lurus, soal apa yang mestinya dimaknai dari sebuah kritikan yang sebetulnya bisa saja mengandung esensi kebenaran didalamnya. Sebuah kritikan dibangung atas dasar kepedulian. Peduli untuk menyampaikan yang sebetulnya tidak sesuai dengan yang sebenarnya dipahami oleh pemberi kritik, atau hasil dari pandangan bersama yang dihimpun oleh subjek penyalur atau penyampai kritik. Sederhananya seperti itu.

Kemudian yang menjadi masalah adalah bila yang diberik kritik lantas tidak memahami sama sekali objek inti dari kritik yang diberikan, atau bisa jadi gagal paham dengan objek kritik tersebut, atau bahkan memilih untuk tidak menerima apapun bentuk kritik yang dilayangkan kepadanya karena menganggap hal itu adalah tudingan semata berasas kebencian padanya. Tentu pemaknaan terhadap kritik itulah yang nantinya akan menentukan apakah memunculkan sikap penyelesaian berdasarkan cernaan yang bijak, atau malah memunculkan permasalahan lain yang baru lagi, sebagai respon atas ketidaksukaannya pada kritik yang dilayangkan tadi.

Disinilah pentingnya bagi mereka yang dikritik agar memiliki kemampuan untuk turut mengilhami kebenaran dari kritik tersebut. Hal yang diperlukan adalah kepiawaian sikap Ikhlas. Ikhlas adalah kebesaran jiwa untuk menerima kenyataan sekalipun itu pahit adanya. Sebab mereka yang ikhlas tidak akan mempertimbangkan perkataan para pendengki, apatah lagi sekedar mencari muka para pemuji. Ini tidak perlu, sebab bertambahnya kebaikan pada diri adalah karena apa yang tersemat pada diri, bukan karena penilaian yang lain.

Kita bisa belajar keikhlasan dari para Imam Madzhab, salah satunya Imam Syafi'i Rahimahullah, dalam setiap persoalan yang menjadi ijtihad beliau, beliau tidak malu untuk mengakui kekhilafan dan kesalahan. Diantara perkataan yang masyhur berkenaan dengan keputusan ijtihad tersebut adalah :

رأيي صواب ويحتمل الخطأ ورأي غيري خطأ يحتمل الصواب

“Pendapatku benar, tapi bisa jadi salah. Dan pendapat selain ku itu salah, tapi bisa jadi benar”

Demikianlah sikap pemimpin yang semestinya. Bisa dibayangkan bila pemimpin berlaku adil seperti itu, tentulah atmosfer kedamaian atau ketentraman adalah suatu keniscayaan. Jadi pernyataan sebelumnya diatas yang menganggap kritikan sebagai pengganggu iklim peradaban dunia maya yang dibangun atas perdamaian adalah kekeliruan yang mesti dibantah. Sebab bila tidak ada kritikan sama sekali, bagaimana seorang pemimpin bisa mengevaluasi kebijakan atau sikapnya yang salah? Tidak ada tolok ukur yang pasti selain apa yang dianggap benar dalam kacamatanya. Bukankah hal ini justru akan menimbulkan asumsi adanya sikap otoritarianism kekinian bagi rakyat?

Agaknya hari ini kita merasakan adanya kekeliruan sikap pemimpin kita. Dimana pengungkap kebenaran yang tidak sesuai dengan kacamata pemerintah, pasti dikatakan hoax. Adapun berita yang itu mengkritik pemerintah akan dikatakan sebagai ujaran kebencian, dan banyak fenomena lain yang membuat geleng-geleng kepala.

Aspek yang dipikirkan bukan lagi kebenaran dari objek kritikan, melainkan pembenaran semata. Apakah sedemikian pentingnya kekuasaan bila dibandingkan dengan harga diri sebagai seorang pemimpin? sampai-sampai segala celah yang dipandang bisa merugikan diri dan kekuasaan akan dibatasi dan diawasi sedemikian rupa bahkan sampai menghalalkan segala cara, termasuk mengkadali hukum agar tidak leluasa menjerat sang empunya kuasa.*

Salsabila Maghfoor

Aktivis Mahasiswa, Demisioner Staff Kastrat BEM FTP


latestnews

View Full Version