Oleh:
Fath Astri Damayanti, S.Si
Pemerhati Lingkungan dan Politik
KRISIS air bersih bukanlah permasalahan baru bagi dunia. Setiap tahunnya masalah klasik ini semakin menjadi-jadi. Laporan dari World Water Development Report (WWDR) tahun 2018 yang menyatakan bahwa 40 persen penduduk dunia belum memperoleh akses terhadap air yang aman untuk dikonsumsi menjadi bukti bahwa masalah ini benar-benar membutuhkan perhatian ekstra (www.its.ac.id, 22/3/2019). Krisis air bersih saat ini tengah melanda sejumlah wilayah di Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara. Tingginya angka kebutuhan air tidak sebanding dengan jumlah pasokan yang ada.
Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro mengungkapkan hal tersebut saat Rapat Koordinasi Penyelamatan Danau Prioritas Nasional di Kementerian LHK, Selasa (26/3/2019. Berdasarkan kajian studi latar belakang RPJMN Bidang Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Bappenas 2018, ketersediaan air di Pulau Jawa hanya mencapai 100 juta meter kubik. Sementara kebutuhannya mencapai 120 juta meter kubik. Pada 2020 diperkirakan sebagian besar wilayah Pulau Jawa berada pada zona kuning atau tertekan. Seiring dengan peningkatan kemajuan ekonomi Indonesia yang diprediksi akan tumbuh pesat pada 2045, wilayah Pulau Jawa justru berada di zona merah atau kritis (kompas.com, 26/3/2019).
Peningkatan kualitas hidup masyarakat pedesaan minim perhatian pemerintah daerah (Pemda). Seperti yang terjadi di Desa Pengadan, Kecamatan Karangan, Kabupaten Kutai Timur. Kebutuhan air bersih belum terpenuhi. Masyarakat masih bergantung pada aliran sungai yang mengalir dari arah Kecamatan Karangan. Padahal, kualitas air di sungai tersebut mengalami penurunan akibat banyaknya pembukaan lahan untuk keperluan perusahaan kelapa sawit.
Bahkan, Pemerintah Desa (Pemdes) Desa Pengadan sudah berkoordinasi dengan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kutim terkait hal ini. Kepala Desa Pengadan Syarifuddin Jabir mengatakan, sejak pertama menjabat, 2017, pemenuhan air bersih masuk dalam program utamanya. Tak heran, masih banyak warga desa yang bergantung pada sungai meskipun kualitas air menurun. “Bahkan, banyak yang bergantung pada air hujan. Termasuk saya,” ujarnya saat ditemui Kaltim Post di kediamannya Jumat lalu (7/5) (prokal.co, 10/6/2019). Krisis air bersih menjadi sebuah permasalahan yang terus menerus terjadi namun sampai saat ini belum ada solusi yang tuntas untuk menyelesaikan krisis air bersih ini.
Berbagai upaya telah dikerahkan untuk mengatasi krisis air bersih, namun masih saja belum teratasi dengan baik. Krisis air bersih diakibatkan oleh adanya pemanasan global dan sebagian juga akibat ulah tangan manusia sendiri. Terjadinya deforestasi yaitu proses penghilangan hutan alam dengan cara penebangan untuk diambil kayunya atau mengubah peruntukkan lahan hutan menjadi non-hutan (Sunandar, 2018 dalam Jurnal Bumi). Hal lain sebagai penyebab krisis air yaitu terjadinya pencemaran sumber air, pengelolaan air bersih perpipaan yang berasas kapitalistik dan kapitalisasi sumber daya air oleh perusahaan air keemasan. Padahal sumber air ini dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, tetapi karena dikuasai perusahaan tertentu sumber air tersebut justru dipergunakan untuk meraup keuntungan.
Inilah yang akan terus terjadi ketika manfaat menjadi dasar dalam menyelesaikan permasalahan, padahal telah nampak jelas kerusakannya. Allah SWT berfirman: “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)” (QS. Ar-Rum: 41). Selain itu pendistribusian air juga tak merata, bantuan air bersih untuk wilayah yang kekeringan juga belum maksimal sehingga warga terpaksa membeli air kalaupun tak mampu membeli maka mau tak mau menggunakan air yang tak layak untuk kebutuhan konsumsi.
Hal tersebut akan berbeda pengaturannya dalam Islam. Dalam Islam air merupakan kepemilikan umum sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Kaum muslim berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput dan api” (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Dengan demikian pengelolaannya akan dikelola oleh negara dan tidak boleh diserahkan kepada swasta, pribadi, kelompok bahkan asing. Sumber air akan dikelola dengan memanfaatkan teknologi dan para ahli yang mumpuni dalam bidangnya, fasilitas yang memadai dan lengkap serta penjagaan dari pencemaran sumber-sumber air bersih akan dikerahkan oleh negara. Negara pun akan mengawasi distribusi air bersih untuk semua masyarakat secara merata termasuk untuk kepentingan industri, tanpa memandang untung rugi.
Negara pun akan tanggap ketika terjadi kekeringan ataupun bencana. Pengaturan seperti ini akan berjalan ketika Islam diterapkan secara keseluruhan, dimana individu, masyarakat dan negara bersinergi untuk kembali kepada aturan Sang Khaliq. Sesungguhnya ketika berpaling dari syariah-Nya akan menjadi sebab munculnya kesempitan hidup sebagaimana firman Allah: “Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku, sungguh bagi dia kehidupan yang sempit dan kami akan mengumpulkan dia pada Hari Kiamat dala, keadaan buta .. “ (QS. Thaha: 124). Wallahua’lam bishawab [*].