View Full Version
Kamis, 18 Jul 2019

Kontroversi Film Dua Garis Biru

FILM remaja garapan Starvision Plus, Dua Garis Biru telah menghiasi layar bioskop di seluruh Indonesia sejak 11 Juli 2019 lalu. Sebelum muncul di muka publik, film yang disutradarai Gina S Noer itu cukup mencuri perhatian. Bahkan Dua Garis Biru meraup setengah juta penonton setelah tiga hari tayang. Mengusung isu yang kerap kali tabu diperbincangkan membuat Dua Garis Biru mendapatkan pro kontra di awal kemunculan teaser-nya.

Namun, dikabarkan sebelum tayang di bioskop di Indonesia, Film Dua Garis Biru ini menuai kontroversi. Pasalnya, Dua Garis Biru dianggap film yang tidak pantas untuk dikonsumsi hak layak umum. Karena adanya adegan-adegan dewasa yang di pertontonkan serta menggambarkan kehidupan para remaja  dengan pergaulan bebasnya. Maka, sangat disayangkan jika film semacam ini tayang dibioskop dan lolos oleh Lembaga Sensor Indonesia padahal menuai Kontraversi di tengah-tengah masyarakat.

Inilah akibatnya jika kemajuan teknologi tidak didasari aqidah yang shahih. Industri perfilman yang seharusnya membawa kemaslahatan, justru menjadi ancaman yang berbahaya bagi manusia, yang seharusnya menjadi wasilah untuk terwujudnya rahmat bagi seluruh alam, namun dalam kendali sistem yang memiliki landasan sekulerisme, kemajuan teknologi dimaknai sebagai sarana untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya meskipun didalamnya menuai pro dan kontra dikalangan masyarakat.

Ditambah lagi, tidak adanya regulasi yang membatasi industri film saat ini, bahkan sebaliknya didukung oleh pemerintah sebagai industri kreatif yang menggiurkan keuntungannya. Industri media yang memanfaatkan kemajuan teknologi RI 4.0 sungguh dianggap sebagai sumber pundi-pundi emas pada negara  kapitalis yang mengendalikan bisnis ini.

Jikalau demikian, pernahkah kita bayangkan bagaimana nasib negeri kita dimasa depan? Apabila generasi mudanya di usia remaja, usia yang masih produktif sudah di perlihatkan dengan konten-konten negatif? Diperlihatkan dengan Film-film yang menjerumuskan mereka pada pergaulan bebas. Akibat dari teknologi yang salah fugsi dan tujuannya. Padahal mereka, para remaja masih labil bahkan tidak memiliki filter yang kuat ketika berhadapan dengan dunia nyata dan maya yang tidak terkontrol. Maka bisa kita prediksi mereka akan mudah terbawa arus dan meniru apa saja yang mereka lihat/tonton. Karena film bisa dengan mudah mempengaruhi siapa saja untuk bertindak dan berfikir tanpa disadari.

Semestinya media massa seperti film menjadi alat pendukung pembinaan generasi berkualitas, bukan sebaliknya menjadi sangat kontradiktif. Di bawah kepemimpinan yang sekuler saat ini, masyarakat dibiarkan bertarung sendiri menghadapi berbagai kerusakan, sementara Negara terlihat berlepas tangan. Masyarakat yang miskin iman pun diterjunkan untuk berperang melawan bombardir virus nilai-nilai yang merusak dan sajian intensif media yang mendorong kemaksiatan.

Padahal dalam islam ketika kita menggunakan media massa seperti film akan menyelaraskan pembinaan generasi sesuai dengan tujuannya, karena media massa merupakan media komunikasi yang berfungsi dalam menciptakan sebuah opini publik yang kemudian menjadi opini umum.  Berisi konten yang mendidik, berisi hal hal yang bisa meningkatkan ketakwaan dan memberikan gambaran kepada masyarakat bagaimana kehidupan bernegara yang baik dan lain sebagainya.

Maka, Kondisi kerusakan seperti saat ini tentu harus menjadi perhatian yang serius bagi kita semua, baik itu orang tua, masyarakat maupun negara. Kita tidak rela jika suatu saat nanti kita akan dipimpin oleh generasi yang rusak secara akhlak.  Dengan melawan arus liberalisasi, itulah upaya yang harus dibangun bersama untuk menyelamatkan generasi bangsa dengan mengambil islam secara keseluruhan sebagai satu-satunya solusi yang mengatur kita didalam kehidupan.*

Putri Irfani S, S.Pd

Aktivis Muslimah Dakwah Community


latestnews

View Full Version