View Full Version
Ahad, 24 Nov 2019

Melantangkan Suara untuk Menistakan Agama

 

Oleh:

Elvira, Mahasiswi Unesa

 

PADA era Demokrasi,  kini kian banyak seseorang bebas bersuara menyampaikan pendapatnya. Karena hak kebebasan berpendapat dijadikan dasar dan menjamin seseorang untuk menyuarakan pendapatnya.Tanpa lagi dibatas dengan berbagai media yang telah tersedia baik melalui media lisan ataupun tulisan. Namun hal ini tidak bisa di pungkiri terjadinya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh seseorang dalam menyuarakan pendapatnya. 

Salah satunya adalah Bersuara menistakan Agama. Penistaan Agama merupakan salah satu tindak penghinaan,  penghujatan, atau ketidaksopanan pada tokoh-tokoh suci,  adat istiadat, dan keyakinan suatu agama.  Di Indonesia telah terjadi beberapa kali kasus-kasus hukum penistaan agama yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.

Salah satunya adalah yang kasus yang terjadi saat ini, yakni kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Sukmawati,  yakni tokoh dengan nama lengkap Diah Mutiara Sukmawati Soekarno Putri yang mendapatkan banyak perhatian  umat muslim karena kalimat-kalimat yang telah dilontarkan bagian dari tindak penistaan agama.  Sukmawati menyatakan pendapatnya dalam Forum anak muda yang mengusung tema 'Membangkitkan Nasionalisme,  Menangkal Radikalisme,  dan Memberantas Terorisme'. Dalam videonya, ia menyatakan pendapatnya mengenai peran dan ihwal presiden RI Soekarno pada abad ke-20 dan membandingkan dengan sosok Nabi Muhammad Saw. Dia mengatakan "Saya hanya bertanya, siapa yang berjuang untuk kemerdekaan. Nabi yang mulia Muhammad atau Sukarno. (CNN, 16/11/2019).

Atas pernyataan tersebut, karena dianggap membandingkan Sukarno dan Nabi Muhammad itu, Sukmawati dilaporkan oleh simpatisan Koordinator Bela Islam (Korlabi). Pihak kepolisian menerima laporan bernomor LP/7393/XI/2019/PMJ/Dit.Reskrimum pada 15 November 2019 dengan pelapor Ratih Puspa Nusanti. Pasal yang dilaporkan yakni tentang tindak pidana penistaan agama Pasal 156a KUHP. (CNN, 16/11/2019). Meskipun dianggap telah melakukan tindak penistaan agama, Sukmawati juga engan untuk meminta maaf, karena apa yang dilakukannya tidak salah. Seperti dalam pernyataannya "Saya merasa tidak salah, jadi ngapain musti minta maaf? Diteliti dulu dong apa kata-kata saya yang benar, yang bukan diubah ataupun diedit," . (DetikNews,  19/11/2019)

Pada dasarnya, hal tersebut tidak hanya dilakukan sekali saja. Tetapi sebelumnya Sukmawati telah melakukan tindakan penistaan agama dengan melantukan puisinya yang berjudul 'Ibu Indonesia'. Puisi tersebut  juga mendapatkan banyak sorotan publik dan menuai berbagai kontroversi karena isi dari puisinya tersebut membandingkan syariat Islam. Puisi tersebut membandingkan suara adzan dan cadar dengan konde dan suara kidung yang dianggap suatu hal yang tidak pantas untuk  mengatakan demikian karena melanggar batas-batas  berpendapat.

Adanya para penista agama akibat dari adanya kebebasan dalam menyatakan pendapat. Karena dengan mengatasnamakan kebebasan tersebut seseorang bebas menyatakan pendapat, meskipun hal yang dilakukan adalah menyalahi hukum dan melaggar batas-batas syariat agama lain.  Karena membandingkan Nabi dengan tokoh proklamator bukanlah hal yang pantas untuk dilakukan. Karena Nabi Muhammad saw adalah Nabi yang merupakan panutan serta tauladan bagi semua umat manusia. Hal ini tentu saja bagian dari sikap menghina atau menistakan agama Islam. Munculnya hal ini juga dipengaruhi oleh kurang tegasnya hukum yang menjamin terhadap sikap yang telah dilakukan oleh para penista agama.

Selain itu dari semua kata-kata yang telah dilontarkan oleh Sukmawati mengarah pada pemojokan agama Islam dengan berbagai Labelling yang disisipkan seperti label Radikalisme dan terorisme yang diarahkan pada agama Islam. Sehingga hal ini akan menjadikan masyarakat menjadi Islamopohia atau takut terhadap agama Islam. Karena diaruskan dan difokuskan untuk memikirkan hal tersebut.

Adanya hal ini akibat dari pengaruh kurangnya pengetahuan dan pemahaman terhadap  Islam bagi pengembannya. Selain itu  juga dipengaruhi oleh negara.  Hal ini bisa jika negara dapat kembali menerapkan sistem yang benar-benar menjamin hukum yang adil dan bersikap tegas terhadap pelanggar hukum. Dalam hal ini termasuk hukuman yang tegas bagi para penista agama, karena hal ini berkaitan dengan akidah. Karena jika dibiarkan tanpa adanya kecaman dan sanksi yang menjerahkan, maka hal itu akan menjadi hal yang biasa. Dengan adanya penjagaan yang tegas dari negara, maka tidak akan muncul penista-penista agama. *


latestnews

View Full Version