View Full Version
Rabu, 18 Dec 2019

Toleransi dalam Islam

DALAM rapat terbatas  persiapan Natal dan tahun baru 2020, Presiden Joko Widodo meminta semua pihak menjaga toleransi dan kerukunan jelang perayaan natal dan tahun baru."Kita harus terus memperkuat nilai-nilai toleransi, kerukunan, nilai-nilai persaudaraan di antara sesama anak bangsa. Sehingga dalam menjelang Natal dan tahun baru kenyamanan, rasa aman masyarakat bisa kita hadirkan," kata Jokowi di Kantor Presiden, Jakarta, Jumat (13/12).

Pemerintah kembali mengingatkan kepada jajaarannya terutama Polri dan tak juga lupa menghimbau kepada masyarakat luar untuk menjaga keamanan dan kerukunan menjelang Natal dan Tahun baru terutama memfokuskan penjagaan di tempat-tempat tertentu, biasanya di kota-kota besar. 

Melalui Menag,  pemerintah pun  berharap agar toleransi tetap terjaga, tidak ada larangan bagi umat agama lain untuk mengucapkan selamat Natal bagi saudara kita yang merayakan Natal. Siapapun berhak mengucapkan selamat Natal sebagai hari besar umat Kristiani. Umat agama lain pun ketika merayakan hari besar agamanya, sering juga kita mengucapkan selamat bagi yang merayakan.

Persoalan toleransi pada perayaan Natal  pun kembali menemukan momentum untuk digaungkan saat ini, ibarat sudah menjadi agenda besar pemerintah setiap tahunnya untuk diperbincangkan.

Toleransi sejatinya memang ada di dalam Islam, tak dipungkiri untuk wilayah Indonesia itu sendiri terdiri berbagai suku, bahasa, kulit dan lainnya. Tidak mengusik ibadah orang lain juga termasuk toleransi yang diajarkan dalam Islam, karena hal ini memberikan ketenangan dan keamanan mereka dalam melaksanakan ibadahnya. Bukan berarti lantas kita harus mengucapakan selamat kepada mereka baru dikatakan toleransi, bukan seperti itu yang diajarkan Islam.

Islam menjunjung tinggi tentang keberagaman  (pluralitas), namun tidak dalam hal Akidah (Pluralisme), karena hal ini sama saja membenarkan apa yang mereka lakukan, yaitu menganggap bahwa semua agama  benar, Yesus Kristus sebagai Tuhan dan apa-apa yang agama lain yakini dalam ajarannya padahal bertentangan dalam Islam. Sebenarnya, garis toleransi dalam Islam telah demikian jelas. Ia terangkum dalam firman Allah, “Lakum diinukum wa liya diin.” (untukmu agamamu dan untukku agamaku).

Ulama asal Tunisia, Samahatu al Ustadz Muhammad Thahir Asyur rahimahullah dalam Tafsirnya yang fenomenal, “Tafsiru al Tahrir wa al Tanwir” berkata mengenai ayat di atas, “Dalam kedua kalimat di atas, tampak didahulukan musnad (lakum/liya) atas musnad ilaihnya (diinukum/diin), untuk menegaskan pembatasan. Artinya, agamamu, hanya terbatas untukmu, tidak melampauimu sehingga menjadi milikku. Dan agamaku juga terbatas untukku, tidak melampauiku sehingga menjadi milikmu. Maksudnya, karena jelas mereka tidak menerima Islam. Al Qashr (pembatasan dalam ayat ini) termasuk qashr ifraad. Dan huruf ‘laam’ dalam kedua kalimat diatas bermakna kepemilikan, yaitu keshususan dan keberhakan.Adapun ‘Diin’ bermakna akidah dan millah, ia adalah hal-hal yang diketahui dan diyakini oleh seseorang, dimana amal perbuatan dilandaskan kepadanya.” (vol. 30, hal. 648) https://muslim.or.id/23963-menyoal-kembali-arti-toleransi-dalam-momentum-perayaan-natal.html

Oleh karena itu, dalam Islam tidak dibenarkan toleransi dalam hal akidah, seperti yang diharapkan oleh pemerintah. Karena sebagai seorang Muslim kita tidak diperbolehkan meyakini apa-apa hal yang ada dalam keyakinan agama mereka, melakukan ritual ibadah agama mereka, terlibat dalam  perayaan agama mereka,  mengenakan simbol-simbol dan aksesoris agama mereka dan sebagainya, karena hal ini dapat memalingkan akidah umat Islam itu sendiri. []

Devi, S.E.

Tinggal di Kota Depok, Jawa Barat


latestnews

View Full Version