View Full Version
Senin, 13 Apr 2020

APD Kurang, Kok Malah Dijual ?

Oleh: Lina Revolt

 

Kepanikan akibat wabah Covid-19 terus bergulir. Kisah pilu dihadapi tenaga kesehatan negeri ini. Mereka segenap jiwa berjuang merawat pasien korban suspect Covid-19 namun tidak didukung dengan fasilitas yang memadai. Keluhan terbatasnya alat pelindung diri (APD) terus bermunculan dari para tenaga kesehatan. Bahkan, IDI mengeluarkan pernyataan ancaman akan mogok mengurusi pasien corona jika APD tidak dipenuhi. Akibatnya, banyak petugas kesehatan yang menjadi korban karena terpapar covid-19. Yang tercatat saja sudah lebih dari 25 dokter meninggal, belum perawat dan tenaga kesehatan lainnya.

Meski belum mendapatkan laporan jumlah kekurangan APD, IDI telah menghimpun APD yang kurang dalam satu set, yaitu masker wajah hingga baju pelindung khusus. Kabarnya tenaga kesehatan menyiasati kurangnya APD dengan menggunakan plastik seadanya, termasuk jas hujan plastik yang dimodifikasi. Seharusnya mereka memakai masker N95 tapi terpaksa harus memakai masker kain seadanya. Padahal tenaga kesehatan ada di garda terdepan dalam melawan wabah ini, sudah seharusnya mereka difasilitasi dan dilindungi.

Penguasa Bermental Pengusaha

Saat para tenaga kesehatan berjibaku melawan covid-19, seharusnya yang menjadi fokus pemerintah adalah upaya untuk memenuhi semua kebutuhan mereka. Fasilitas kesehatan maupun fasilitas pendukung harus disediakan agar para tenaga kesehatan mendapat istirahat dan gizi yang cukup saat merawat pasien. Negara juga harusnya membuat berbagai kebijakan yang bisa menghentikan penyebaran wabah sehingga pasien tidak terus bertambah.

Namun, di tengah kegelisahan tenaga kesehatan karena kurangnya amunisi untuk berperang, pemerintah malah melihat wabah dari sudut pandang seorang pengusaha. Mereka malah sibuk sendiri mencari cara agar wabah ini bisa dijadikan upaya perbaikan ekonomi. Pemerintah berwacana menjadi penyuplai APD dan Hand Sanitizer untuk negara-negara yang terinfeksi.

Dikutip dari jpnn.com, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa Indonesia punya peluang untuk menjadi penyuplai alat pelindung diri ( APD) dan hand sanitizer bagi negara-negara yang terdampak pandemi Covid-19 ini. Itu karena Indonesia memiliki pabrik dan insfrastruktur untuk memproduksi barang yang dibutuhkan dunia tersebut.

Saat kebutuhan APD dalam negeri belum memadai, pemerintah malah ekspor APD ke luar negeri. Lucunya, APD yang telah diekspor tersebut justru diimpor kembali oleh pemerintah, ini dibuktikan dengan datangnya bantuan APD dari pemerintah ke beberapa provinsi. APD tersebut ternyata ditulis "Made in Indonesia".

Kepala Pusat Data Informasi dan Komunikasi Kebencanaan Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB, Agus Wibowo mengklaim bahwa hal tersebut biasa terjadi. Karena di Indonesia banyak pabrik pembuatan alat pelindung diri. Tidak hanya APD, banyak produk terkenal seperti pakaian, sepatu, tas, dan lain-lain yang pabriknya juga berada di Indonesia. Meskipun pabriknya di Indonesia, akan tetapi bahan bakunya berasal dari negera pemesan. Setelah jadi, APD akan dikirim ke negara pemesannya dan dijual kembali ke negara lain, termasuk Indonesia. Sungguh ruwet dan ribet sekali.

Merespon hal itu Wakil Ketua MPR Hidayat Nurwahid mengatakan, seandainya pemerintah tidak mengekspor APD ke China secara besar-besaran, Indonesia tidak perlu mendatangkan APD dari negera lain. Karena ternyata APD tersebut justru diproduksi di Indonesia.

Inilah dilema ketika negara dikelola dengan sistem kapitalisme, mengukur segala sesuatu dengan sudut pandang ekonomi. Karena ekonomi adalah hal yang paling diagung-agungkan oleh sistem ini, maka wajar bila penguasa yang lahir dari sistem ini bermental pengusaha. Respon pemerintah begitu lamban dalam menghentikan penyebaran virus, meski sudah banyak jatuh korban jiwa. Hari demi hari para tenaga kesehatan bagai berperang seolah mengantarkan nyawa.

Hal berbeda terjadi saat ada aroma uang di sana. Sikap penguasa begitu tanggap saat  melihat peluang meraup keuntungan ekonomi dari  wabah ini. Pemerintah begitu sigap meningkatkan produksi demi memenuhi ekspor, bahkan tidak malu mengakui kelemahannya yang tidak bisa menyetop komitmen ekspor (APD) ke Korea Selatan misalnya, meskipun di dalam negeri membutuhkan. Devisa negara saja yang ada di pikiran mereka ini.

Fakta ini semakin membuka lebar mata kita, bahwa sistem kapitalisme tidak pernah berpihak pada rakyat, karena yang lebih utama bagi kapitalisme adalah keuntungan ekonomi. Paradigma keuntungan ekonomi adalah segalanya, merupakan bawaan sistem ini. Maka, sudah layaknya dibuang dan tidak lagi dipakai dalam kehidupan bernegara.

Islam dan Fasilitas Kesehatan

Lain lubuk lain ikan, begitulah perbedaan sistem kapitalisme dengan Islam. Islam memandang bahwa kesehatan seluruh rakyatnya adalah tanggung jawab negara, apalagi saat menghadapi wabah seperti saat ini. Maka hadirnya negara sangat vital, karena ada pemimpin yang bertanggung jawab atas seluruh rakyat yang dipimpinnya.

Rasulullah Saw bersabda :

 “Imam (Khalifah) yang menjadi pemimpin manusia, adalah (laksana) penggembala. Dan hanya dialah yang bertanggungjawab terhadap (urusan) rakyatnya.” (HR Al- Bukhari).

Karena pemimpin/khalifah adalah penggembala, maka ia wajib memenuhi pelayanan dan kesehatan berkualitas, didukung dengan sarana dan prasarana kesehatan yang memadai serta sumber daya manusia yang profesional dan kompeten. Penyediaan semua itu menjadi tanggung jawab dan kewajiban negara. Karenanya negara wajib membangun berbagai rumah sakit, klinik, laboraturium medis, apotik, lembaga litbang kesehatan, sekolah kedokteran, apoteker, perawat, bidan serta sekolah kesehatan lainnya yang menghasilkan tenaga medis.

Negara juga wajib mengadakan pabrik pabrik yang memproduksi peralatan medis dan obat-obatan, menyediakan SDM kesehatan baik dokter, apoteker, perawat, psikiater, akupunkturis, penyuluh kesehatan dan lain sebagainya. Sehingga saat wabah melanda, tenaga kesehatan yang bertugas merawat para pasien tidak kekurangan amunisi sampai harus terancam nyawa.

Maka, haram bagi negara hanya menjadi regulator dalam mengurusi rakyatnya. Apalagi mengambil keuntungan ekonomi dengan sibuk memikirkan ekspor fasilitas kesehatan sementara kebutuhan tenaga kesehatan di dalam negeri tidak tercukupi.

Tenaga kesehatan selayaknya harus dilindungi karena mereka adalah prajurit di barisan terdepan saat wabah penyakit datang. Negara tidak boleh melihat untung dan rugi saat berhadapan dengan rakyatnya. Karena semua kebutuhan rakyat, termasuk tenaga kesehatan di dalamnya adalah tanggung jawab negara.

Negara juga harus sigap membuat kebijakan lockdown dan memenuhi semua kebutuhan rakyatnya demi mencegah penyebaran wabah lebih luas lagi. Hal ini demi mencegah bertambahnya pasien sehingga tenaga kesehatan kewalahan. Bila melihat kebijakan yang diambil pemerintah saat ini, sungguh jauh sekali bila dikaitkan dengan perannya sebagai pelindung rakyat. Rakyat dibiarkan mencari selamat sendiri, seperti anak ayam kehilangan induknya. Sampai kapan wabah ini berakhir bila pemerintah bersikap abai seperti  ini? Wallahu a'lam bishowab. (rf/voa-islam.com)

Ilustrasi: Google


latestnews

View Full Version