View Full Version
Rabu, 06 May 2020

Balada Corona: Antara Longgar dan Larangan

 

Oleh:

Chusnatul Jannah

Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

 

BINGUNG....bingung ku memikirnya. Sempat bingung dengan cara berpikir pemerintah. Sejak aturan PSBB bergulir, segala upaya dilakukan untuk menekan penyebaran Covid-19 ke semua daerah. Beberapa daerah juga sudah menerapkan PSBB. Seperti Jabodetabek, Jawa Barat, Surabaya Raya, dan daerah lainnya. 

Menteri perhubungan, Budi Karya Sumadi, mengaktifkan kembali pengoperasian moda transportasi mulai 7 Mei 2020. Ia mengatakan pengoperasian moda transportasi akan tetap mematuhi protokol kesehatan. 

Menurut Budi Karya, keputusan ini diambil agar perekonomian nasional tetap berjalan. Salah satunya untuk anggota DPR. "Jadi rekan DPR boleh kembali ke daerah pemilihan. Tetapi untuk bekerja. Bukan untuk mudik. Kami pun boleh untuk tugas negara. Jika untuk tugas berhak melakukan movement," paparnya, seperti dilansir cnnindonesia.com, 6/5/2020. 

Dari awal sejak penanganan virus corona, pemerintah memang tidak niat. Tidak niat melakukan pengetatan. Tidak niat melakukan karantina wilayah. Tidak niat melaksanakan program bantuan Covid-19. Tidak niat memenuhi kebutuhan rakyat selama pandemi. Dimulai dari sensinya mendengar istilah lockdown karena konsekuensinya begitu besar bagi pemerintah dan perekonomian negara. Tidak mau memakai UU No.6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, mereka bikin aturan PSBB yang katanya menjadi derivat UU No.6 Tahun 2018.

Alhasil, PSBB melonggarkan kewajiban pemerintah memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Sebab, UU Kekarantinaan Kesehatan menyatakan pemerintah harus memenuhi kebutuhan rakyat selama karantina. PSBB pun menjadi jalan tengah bagi pemerintah. Upaya menekan Covid-19 harus tetap ada, tapi tidak perlu menjamin penuh kebutuhan rakyat. Dibuatlah program enam paket bantuan. Tapi belakangan, bansos yang dijanjikan sebatas pemanis di muka. Penyalurannya bermasalah dan tidak merata. 

Perjalanan pemerintah dalam menangani kasus corona di Indonesia terlihat ogah-ogahan. Ditambah kebijakan Menhub yang kontradiksi dengan aturan PSBB. Maunya apa? Rakyat di-PSBB, eh moda transportasi diaktifkan lagi. Bagaimana memastikan para penumpang transportasi tak ada niatan mudik? Bagaimana pula penerapana moda transportasi tetap mematuhi protokol kesehatan? Sementara belum ada jaminan para penikmat transportasi tersebut adalah pekerja bukan pemudik? 

Dengan alasan yang sama, aturan mengoperasikan kembali moda transportasi lantaran faktor ekonomi. Ekonomi harus tetap jalan, tapi  sebaran Covid-19 juga harus berkurang. PSBB tetap dilaksanakan, tapi moda transportasi bakal melenggang. Bukankah mencegah peneybaran salah satunya adalah membatasi trasnportasi? Mengapa malah dilonggarkan? Logiskah? 

Dilematis. Mau melarang segala rupa, tapi tidak mau biayai hidup rakyat. Mau melonggarkan, tapi ancaman Covid-19 masih terbayang. Melarang salah, melonggarkan simalakama. Begitulah bila dari awal kebijakan setengah-setengah. Takut ekonomi makin nyungsep. Takut investasi kabur. Takut rugi. Sayangnya. Kenapa tidak takut rakyat kelaparan? Sudahlah bantuan yang diberikan ribet, hidup rakyat pun simpang siur. Penuh ketidakpastian. 

Ketahuilah, pemerintah sedang kebingungan. Bingung mau bikin kebijakan yang mana. Bingung mau berbuat adil. Bingung mau bersikap amanah. Tapi tidak pernah bingung mengundang asing bermain. Tidak pernah bingung mau berutang ke negara lain. Dan tidak pernah bingung mengamankan kekuasaannya. 

Di tengah politik kebingungan, ini negara mau dibawa kemana? Kapitalisme itu bikin pusing. Ruwet dan ribet. Masalah tak kunjung berakhir. Malah menumpuk masalah. Daripada bingung, kenapa tak mencoba solusi Islam? andaikata sejak corona tiba, Indonesia sudah menerapkan karantina wilayah sebagaimana yang dicontohkan Islam,  tentu ekonomi tak separah ini. Rakyat juga tidak galau makan apa nanti. 

Karena nasi sudah menjadi bubur, kekacauan tersebab pemerintahan yang amburadul, harusnya tak gegabah melakukan kebijakan maju mundur. Inkonsistensi pemerintah terhadap penanganan corona menunjukkan ketidakcakapan mereka mengurus negara. Cacat kompetensi. 

Perlu bukti berapa kali lagi? Sistem negara berasas kapitalisme banyak problemnya. Perlu wacana solusi baru. Balada corona semoga segera berlalu. Dengan berakhirnya pandemi, semoga berakhir pula kapitalisme yang menyakiti nurani. Sebab, pemimpin di sistem kapitalisme kurang empati dan peduli. Mereka hanya berpikir profit dan bisnis.  Padahal mereka adalah pengurus rakyat, bukan diurusi rakyat. Mereka pemangku kepentingan rakyat, bukan kepentingan pemodal. Dan mereka semestinya mewujudkan kemaslahatan, bukan kesengsaraan. 

Sistem negara berasas kapitalisme banyak problemnya. Perlu wacana solusi baru. Balada corona semoga segera berlalu. Kapitalisme runtuh, dan bermulanya peradaban baru yang ditunggu. Kebangkitan peradaban Islam.*


latestnews

View Full Version