View Full Version
Kamis, 07 May 2020

Jika PSBB Tidak Berakhir

Oleh: Roni Tabroni (Dosen Ilmu Komunikasi UMBandung)

Jika kini dianggap normal kedua, maka kita seolah terlahir kembali. Kita bayangkan PSBB tidak pernah berakhir. Seolah dalam mimpi awalnya, tetapi pelan-pelan kita akan menyadarinya.

Apa sesungguhnya yang mendorong kita untuk kembali pada situasi semula (sebelum semuanya berubab karena covid-19)? Saya kira ego manusia selalu cendeung ingin bermanja. Padahal, dikala nafsu menguasai bumi, semesta menjadi tidak berdaya.

Covid-19 menyadarkan kita, betapa egonya kita sealam ini, telah memperdaya lingkungan dengan nafsu serakah. Tatkala manusia "dipenjara", semesta menikmati masa keemasannya.

Pandemi siapa yang suka. Tetapi banyak cara bagaimana Sang Pencipta membalikkan semuanya. Banyak perspektif yang bisa digunakan untuk membaca ini semua. Tetapi keangkuhan kita senantiasa bebal, bahkan aturan keselamatan pun dilanggarnya.

Manusia terkadang paradoks. Setelah dia ditakdirkan menjadi penguasa dunia, kemajuan peradaban terus dipacu. Meninggalkan simpanse yang tetap telanjang dan hidup di belantara hutan.

Namun kemajuan teknologi dan berbagai fasilitas kemudahan hidup, tidak mampu melawan rasa suntuk. Rasanya ingin kembali memacu roda kendaraan agar hidup menjadi normal. Ingin mewarnai langit agar kembali suram, supaya ozon semakin menganga, dan lingkungan kembali berantakan.

Berapa banyak penghuni kota besar yang selalu bergumam, ingin kembali ke masa lalu karena hidup tanpa macet. Kini jalanan sudah lengang, bebas macet dan colusi udara, tetapi kita tetap mengeluh. Dulu manusia berkeluh kesah karena lelah kerja siang malam, rumah hanya menjadi tempat istirahat sementara. Ketika Tuhan menakdirkan kita berada "surga dunia" itu, masih pula ingin beredar.

Dulu belajar online, rapat dan pertemuan berbasis teknologi begitu dirindu. Setiap pelakunya merasa bergengsi, karena bisa meninggalkan orang lain yang dianggapnya tradisional. Kini tidak ada yang berbangga dengan hal ini, semua orang melakukannya. Tetapi kita merindukan pertemuan fisik kembali.

Perempuan karir yang mengorbankan pendidikan anaknya demi dunia, selalu rindu membelai anak di siang hari. Kini tidak ada waktu untuk berpisah, tetapi malah menjadi bosan.

Ketika agama meyakini bahwa benteng peradaban itu ada di rumah, hanya sedikit manusia mempercayainya. Kemudian ramai-ramai "melemparkan" anaknya ke benteng sekolah. Jika ada apa-apa, guru yang selalu jadi sasaran.

Kini semuanya kembali pada orang tua. Sepertinya, Tuhan ingin membuktikan, apakah peradaban yang lahir dari rahim keluarga itu akan benar-benar terwujud. Sebab tidak ada hari tanpa pendidikan di rumah.

Namun, jika semuanya dilakukan dengan terpaksa. Hidup kita disesaki dengan keluhan, isyarat alam ini akan menjadi bencana kedua. Ketika manusia tidak pandai menahan ego, alam akan kembali murka, dan kita tidak akan pernah benar-benar tahu, sampai kapan PSBB ini akan berakhir. Sebab Sang Penguasa memiliki kewenangan untuk terus memperpanjang hingga waktu yang tidak terhingga, sampai kita sadar bahwa semesta sedang menguji kita.

Akhirnya kita harus memastikan bahwa kehidupan normal kedua ini akan menjadi bagian dari hidup baru, apakah ada PSBB atau tidak. Kita akan tetap di sini, seperti ini.. Ya persis seperi ini.


latestnews

View Full Version