View Full Version
Rabu, 10 Jun 2020

Memelihara Prasangka Baik

 

MUSIM paranoid. Itulah musim baru di era pandemi ini. Apalagi ketika berada di luar rumah. Jangankan bersalaman, bertatap muka saja seolah jadi tabu. Teringat lebaran lalu, tetangga yang saya datangi hanya tetangga persis samping kanan rumah saja, itupun sudah disampaikan memang sehari sebelumnya bahwa saya dan keluarga akan berkunjung. Ada kebimbangan dalam hati apakah saya sudah melakukan hal yang benar, mengingat kebiasaan momen lebaran saling mengunjungi antar tetangga. Apakah tetangga yang tidak saya kunjungi lantas akan tersinggung? Ah, galau jadinya.

Beragam aksi paranoid terjadi hari ini efek virus yang masih mewabah. Ada yang rela kepanasan memakai APD lengkap, selalu memakai sarung tangan dan masker jika keluar rumah, bermandi cairan desinfektan jika baru tiba di rumah, ada ayah yang rela berkali-kali mandi setiap habis dari luar untuk bisa memeluk sang buah hati, ada pula yang tak pernah ketinggalan membawa hand sanitizer dan tissue basah di tasnya, dan aksi lainnya yang terkesan tak masuk akal tapi mengundang prihatin. 

Paranoid (bahasa Yunani Kuno: paranoia) adalah gangguan mental yang diderita seseorang yang meyakini bahwa orang lain ingin membahayakan dirinya. Dikatakan sebagai bentuk gangguan bila perilaku tersebut sifatnya irasional, menetap, mengganggu, dan membuat stres. Akan tetapi, perilaku ini tidak disebut paranoid bila kemunculan perilaku tersebut disebabkan oleh skizofrenia, gangguan bipolar, atau gangguan psikotik lainnya (faktor neurologi), atau sebab-sebab yang diakibatkan oleh kondisi medis. (Wikipedia.org). 

Pengamatan saya, musim paranoid saat ini lebih disebabkan karena arus informasi terkait virus dan penyebarannya yang seliweran di media sosial. Sayangnya informasi tersebut banyak yang valid, tapi yang tak valid alias disinformasi (hoaks) lebih banyak lagi. Itulah mengapa masyarakat terlanjur meyakini informasi hoaks tersebut lalu menyebarkannya. Sebagai contoh disinformasi mengenai uang dan ATM sebagai media penyebar virus, bawang merah bisa menyerap virus, mayat korban Covid harus dibuang ke laut, dll. Jika sudah begini, siapa yang akan bertanggung jawab terhadap keparnoan yang terjadi. 

Lantas, layakkah seorang muslim bersikap paranoid di era pandemi ini? Jawabannya tentu tidak. Karena seorang muslim dituntut untuk senantiasa terikat dengan Allah swt dan Rasul-Nya. Berikut ini sikap yang diajarkan agama kita terkait kondisi pandemi:

1. Memilih informasi yang valid dan kredibel terkait virus dan penyebarannya. Bisa langsung dari ahlinya atau link resmi yang bisa dipercaya.

2. Melakukan pengecekan atau tabayyun jika memperoleh informasi yang meragukan, tentunya sebelum disebar ke orang lain.

3. Mengikuti himbauan pihak terkait seperti pemerintah bersama departemen kesehatan selama pandemi terjadi untuk memutus rantai penyebaran virus. Di antaranya gerakan di rumah saja, social distancing, rajin mencuci tangan, dan menggunakan masker jika keluar rumah.

4. Memelihara prasangka baik kepada orang lain, terutama kepada Sang Pencipta bahwa pandemi ini adalah ujian yang harus dihadapi dengan lapang dada dan akan segera berlalu dengan pertolongan-Nya.

5. Menerapkan pola hidup bersih dan sehat (PHBS). Lebih baik mencegah daripada mengobati.

6. Banyak berdo'a dan mengevaluasi diri (muhasabah) atas segala kemaksiatan yang telah dilakukan.

"Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun." (TQS. Al-Baqarah: 155-156)

"Peliharalah diri kalian dari siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian. Ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya." (TQS al-Anfal [8]: 25)

Karena paranoid terkategori gangguan mental, maka jangan sampai karena terlalu paranoid, mental kita jadi semakin terganggu alias tak waras lagi (baca: gila). Tidak terkena penyakit Corona, tapi terkena penyakit gila. Apa tidak lebih parah itu namanya? 

Terakhir, ada pihak yang bertanggung jawab sebenarnya untuk menjaga mental kita tetap sehat dan tidak mengalami paranoid. Siapa lagi kalau bukan pemerintah yang bertugas menjamin keamanan dan kebutuhan rakyatnya, terutama sejak awal pandemi meluas ke berbagai negara. Wallaahu a'lam.*

Lely Herawati

Praktisi Pendidikan, tinggal Barru-Sulawesi Selatan


latestnews

View Full Version