View Full Version
Kamis, 11 Jun 2020

Dilema Mahasiswa Kuliah Daring, UKT Nggak Miring

 

Oleh:

Bella Carmila, Mahasiswa Poltekkes Kemenkes

 

MUNCULNYA Covid-19 tidak hanya membuat dilema sebagian masyarakat melainkan juga membuat dilema para mahasiswa. Pasalnya, ditengah wacana diberlakukannya new normal life di Indonesia, tagar #Mendikbuddicarimahasiswa menjadi trending topik di Twitter Indonesia, hingga Rabu (3/6/2020) siang. Selain tagar diatas, tagar #NadiemManaMahasiswaMerana juga sempat menjadi trending topik nomor satu di Twitter.

Tagar yang diketahui dikomandoi oleh Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) ini menyuarakan beragam isu dalam dunia Pendidikan Nasional. Adapun tuntutan yang hendak disampaikan oleh mahasiswa dalam ranah perguruan tinggi adalah pertama, pembebasan ataupun relaksasi biaya kuliah atau UKT (uang kuliah tunggal). Kedua, yakni soal bantuan pulsa atau kuota internet, kemudian logistik dan kesehatan bagi mahasiswa yang tertahan di kosan karena tidak bisa pulang.

Keluhan para mahasiswa mengenai pembayaran UKT yang tetap harus dibayar walaupun mahasiswa belajar secara daring ditengah masa pandemi ini pun membuat suara mahasiswa kembali terdengar. Bahkan ada beberapa kampus yang menaikkan UKT walaupun kebijakan ini diputuskan sebelum masa pandemi. Mahasiswa merasa hal ini bisa dibatalkan sebab dimasa pandemi perekonomian rakyat yang semakin sulit. Tuntutan para mahasiswa ini pun dikarenakan selama kebijakan belajar dari rumah mereka tidak menggunakan fasilitas kampus bahkan para mahasiswa merasa kuliah daring semakin membuat dompet kering.

Jika ditinjau dari segi efektivitas, pembelajaran secara daring ini pun banyak dikeluhkan para mahasiswa. Pasalnya, tidak semua mahasiswa mendapatkan fasilitas internet yang memadai. Ada banyak mahasiswa yang tempat tinggalnya masih belum terjangkau internet sehingga membuat mereka harus rela berkorban naik turun gunung atau pergi ke kota untuk mendapatkan jaringan internet. Selain itu juga tidak semua mahasiswa mampu membeli pulsa atau kuota internet untuk melakukan proses pembelajaran dari rumah. Sehingga hal ini pun membuat para orangtua dan mahasiswa dilema ditengah himpitan ekonomi yang semakin sulit.

Bukan hanya itu, mahasiswa juga merasa kecewa dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang tidak kunjung mengambil sikap terkait Pendidikan ditengah masa pandemi. Mahasiswa merasa keberatan untuk membayar UKT ditengah pandemi yang serba sulit ini. Bagaimana tidak sulit, world bank memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2020 berada dibawah 5%. Apalagi dimasa pandemi ini ekonomi Indonesia bisa tidak tumbuh sama sekali alias 0% (Detik Finance).

Krisis ekonomi ini tentu akan berimbas pada berbagai sektor kehidupan masyarakat tanpa kecuali kepada para mahasiswa. Ditengah krisis ekonomi ini negara demokrasi tidak hadir untuk mencukupi kehidupan masyarakat termasuk biaya Pendidikan. Sehingga tidak dipungkiri pada masa pandemi ini banyak mahasiswa yang kesulitan untuk membayar UKT yang seharusnya menjadi tanggungjawab negara sebagaimana pada UUD 1945 pasal 31 ayat 1 dan 2.

Sistem kapitalis yang dianut oleh Indonesia memaksakan sejumlah PTN (perguruan tinggi negeri) menjadi dan sedang berproses menjadi BHMN (badan hukum miliki negara). Artinya PTN tersebut harus mencari biaya sendiri dan tidak lagi ditanggung oleh negara dalam memenuhi kebutuhannya. Alhasil, mahasiswa lah yang dibebani untuk semua biaya perkuliahannya. UKT yang mulai diberlakukan sejak 2013 lalu diberlakukan sesuai tingkat sosial ekonomi mahasiswa. Sudah sejak lama memang UKT ini dirasakan membebani mahasiswa. Apalagi saat pandemi Covid-19 ini yang menyebabkan keluarga mahasiswa terdampak hingga mereka tidak mampu membayar sejumlah nominal UKT yang telah ditetapkan.

Berbeda dengan negara yang menerapkan syariat Islam, tidak hanya meletakkan prinsip kurikulum, strategi dan tujuan. Sistem Pendidikan di era Khilafah terbukti melahirkan SDM terdidik yang berpikir dan bersikap Islami juga membebaskan biaya Pendidikan dijenjang apapun. Pembiayaan Pendidikan yang mencakup gaji para guru ataupun dosen serta sarana dan prasarana Pendidikan sepenuhnya menjadi tanggungjawab negara. Pendidikan sebagaimana kesehatan dan keamanan menjadi tiga kebutuhan pokok yang disediakan secara gratis karena terkait langsung dengan fungsi dasar negara yaitu sebagai penjamin dan penanggungjawab kebutuhan mendasar warga negaranya. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:

“Imam itu adalah laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya).” (H.R Imam Al-Bukhari dan Imam Ahmad dari sahabat Abdullah bin Umar R.A).

Pemenuhan kebutuhan Pendidikan tinggi tercakup juga dalam tanggungjawab Khilafah. Tinta emas sejarah mencatat pada abad 4 H para Khalifah telah membangun perguruan tinggi yang dilengkapi dengan perpustakaan, auditorium, asrama mahasiswa, dapur, ruang makan, dan sebagainya. Tak lupa juga disediakan perumahan bagi dosen dan para ulama. Pendidikan di dalam sistem Islam juga merupakan hak bagi setiap warga negaranya. Sebagaimana Rasulullah bersabda:

“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (H.R. Ibnu Majah).

Karena negara memandang bahwa menuntut ilmu adalah kewajiban bagi setiap warga negaranya maka negara bertanggungjawab atas pemenuhan kewajiban rakyatnya tersebut. Termasuk negara bertanggungjawab atas pembiayaan Pendidikan rakyatnya. Wallahu’allam.*


latestnews

View Full Version