View Full Version
Kamis, 11 Jun 2020

Tagihan Listrik Melonjak, Pelanggan Meradang

 

Oleh:

Hasni Tagili, M. Pd.

Aktivis Perempuan Konawe

 

SAAT puluhan juta pelanggan listrik 450 Volt Ampere (VA) dibebaskan dari tagihan listrik dan diskon 50 persen bagi pelanggan golongan rumah tangga 900 VA sebagai stimulus dampak pandemi Covid-19, pelanggan nonsubsidi justru meradang. Tagihan listriknya mendadak “membengkak”. 

Keluhan itu dilontarkan pelanggan listrik nonsubsidi di Kota Kendari. Tagihan bulan ini (pemakaian bulan Mei, red) naik dibandingkan bulan sebelumnya. Runi (49) salah satu warga Kelurahan Lepo-lepo mengaku kaget saat membayar tagihan listrik disalah satu swalayan di Kendari (Kendaripos.co.id, 10/06/2020). Runi kaget melihat nominal Rp 420 ribu yang tertera dalam tagihan. Padahal, biasanya tagihan listriknya hanya berkisar Rp 350 ribu per bulannya. Padahal, pemakaian normal. 

Warga Kelurahan Pondambea, Udin mengeluhkan hal yang sama. Daya listrik di rumahnya sekira 1300 VA. Biasanya dia membayar tagihan listrik sekitar Rp 300 ribu sebulan. Tetapi, bulan ini, tagihan menjadi Rp. 471 ribu. Sementara pemakaian normal dan tidak ada penambahan alat elektronik.

Menanggapi banyaknya keluhan pelanggan terkait lonjakan kenaikan tagihan listrik, PT PLN Unit Induk Wilayah (UIW) Sulselrabar menekankan bahwa tidak ada kenaikkan Tarif Dasar Listrik (TDL) saat ini. Lonjakkan tagihan pada bulan Juni sebagian pelanggan, lanjut dia, disebabkan tagihan listrik pada bulan April dan Mei menggunakan perhitungan rata-rata pada 3 bulan sebelumnya. “Pengambilan perhitungan rata-rata tersebut akibat diberlakukannya Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang menyebabkan petugas pencatatan meter (Cater) PLN tidak dapat melakukan pembacaan langsung ke rumah-rumah pelanggan,” ungkap Ismail.

Menurut Ismail, kenaikan tagihan listrik ini disebabkan oleh peningkatan konsumsi listrik oleh pelanggan pada saat PSBB, masyarakat banyak beraktivitas di rumah. Ditambah lagi, kenaikan konsumsi listrik pada bulan suci Ramadan dan Idul Fitri. 

Sementara itu, dilansir dari Harianterbit.com, 08/06/2020, pengamat Kebijakan dan Pemerintahan Gde Siriana Yusuf menilai PLN tidak bisa berdalih alasan kenaikan tarif listrik dikarenakan mengunakan rata-rata tiga bulan terakhir sebagai acuan tagihan bulan Mei. “Coba dihitung rata-rata tagihan sejak Februari-April. Logikanya adalah tagihan Mei tidak akan lebih tinggi dari April. Misalnya, tagihan Februari 1 juta, Maret 1,2 juta, April 1,5 juta. Maka bulan Mei adalah rata-rata Februari-April tikak akan lebih dari 1,5 juta. Ini yang terjadi tagihan Mei jauh di atas April,” kata Gde dalam pesan singkatnya, Minggu (7/6/2020).

Seharusnya, kata ia, pada saat masyarakat sedang sulit tidak ada penghasilan karena terdampak Covid-19, semestinya pemerintah memperhatikan kesulitan hidup rakyat bukan malah membebankan rakyat dengan menaikan tarif listrik. Menurutnya, solusi bahwa kenaikan dicicil juga bukan solusi yang tepat. Satu, karena perhitungan tagihan tersebut perlu dikoreksi lagi. Kedua, masyarakat tetap saja perlu biaya ekstra untuk kenaikan listrik meski dicicil. 

Dirinya juga tak setuju alasan PLN kenaikan listrik akibat aktivitas di rumah dengan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Pasalnya, PSBB bukan mau masyarakat tapi keinginan pemerintah. Sekolah dengan belajar online juga kan bukan mau siswa. Konsekuensinya penggunaan listrik lebih banyak. “Ini pemerintah sudah tidak mau menanggung makan, sewa kontrakan masyarakat, tapi masih juga minta kenaikan listrik,” ucapnya. Ini sama saja, kata Gde, pemerintah tak mau tahu derita rakyat. “Sekali lagi rezim Jokowi tidak memahami apa yang sedang diderita masyarakat luas,” tegasnya. 

Menilik lebih jauh, dalam konstelasi sistem kapitalisme, kenaikan TDL merupakan hal wajar. Hal ini adalah dampak dari proses swastanisasi dan privatisasi yang merupakan pesanan IMF yang tertuang dalam Letter Of Inten yang ditandatangani tanggal 31 Oktober 1997. Pada butir 41 dinyatakan bahwa Pemerintah RI berjanji untuk memprivatisasi Sektor Pelayanan Publik.

Setelah itu dibuat skenario untuk meloloskan pesanan IMF tersebut melalui Kementerian Pertambangan dan Energi yang kemudian menerbitkan “Buku Putih” pada Tahun 1998, yang isinya adalah roadmap liberialisasi ketenagalistrikan melalui tahapan Unbundling, Profitisasi dan Privatisasi. Jadi walaupun namanya masih PLN, tapi kebijakan penentuan harga listrik dilakukan oleh swasta. 

Sehingga, bisa ditarik kesimpulan bahwa problem utama penyebab naiknya harga listrik adalah kebijakan ekonomi pemerintah yang neoliberal. Ya, hampir semua kebijakan menguntungkan para kapitalis dan selalu mengorbankan kepentingan rakyat. 

Berbeda dengan pengelolaan listrik dalam sistem pemerintahan Islam, dimana listrik merupakan bagian dari energi (an-naar) yang merupakan kepemilikan umum. Rasulullah SAW bersabda, “Manusia bersekutu (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal: padang rumput, air, dan api” (HR Ibn Majah). Artinya, negara ditetapkan sebagai wakil rakyat untuk mengatur produksi dan distribusi energi tersebut untuk kepentingan rakyat. 

Melalui paradigma inilah, Islam memandang negara tidak boleh mengeruk keuntungan dari kepemilikan umum tersebut, apalagi diserahkan kepada pihak swasta asing. Jika pun rakyat sampai harus membayar listrik, hal itu hanya sekadar untuk menutupi biaya operasional atau biaya produksi tanpa harus membayar biaya keuntungan (Ab-durrahman al-Maliki, as-Si-yasatu al-Iqtishadiyatu al-Mutsla). 

Sehingga, tidak sepantasnya menjadikan listrik sebagai komoditi yang bisa diperjualbelikan kepada rakyat, apalagi memberi kesempatan kepada pihak swasta/swasta asing untuk menguasai komoditi listrik. Sebab, hal tersebut menggambarkan pengalihan tanggungjawab negara kepada rakyat untuk mengelola listrik. Terlebih, jikalau benar ada tindakan penggelembungan tagihan listrik, hal itu sudah tentu merupakan kebijakan yang sangat merugikan rakyat. 

Oleh karena itu, pemerintah dituntut untuk memaksimalkan perannya, yaitu bagaimana agar hak milik rakyat (umum) tersebut dapat dinikmati untuk sebesar-besarnya kepentingan rakyat. Listrik harus dikelolah oleh sebuah badan milik negara yang statusnya adalah institusi pelayanan, bukan dijadikan sebagai institusi bisnis. Wallahu ‘alam.*


latestnews

View Full Version