Oleh: M Rizal Fadillah (Pemerhati Politik dan Kebangsaan)
BPIP dibentuk berdasarkan Perpres. Bingung mengenai ruang lingkup dan program kerja. Akibatnya implementasi menjadi "serabutan" dan tak bermakna. Urusan konser saja ditangani. Padahal itu sekedar cari donasi untuk seniman yang terdampak covid 19. Sorotan tajam justru pada gaji personal Dewan Pengarah maupun pengelola. Tidak seimbang antara pendapatan dengan pekerjaan.
Agar lebih kuat dan jelas maka dibutuhkan aturan yang lebih tinggi. "Masa BPIP diatur oleh Perpres harusnya oleh Undang-Undang" Begitu alasan para pendorong RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP). Undang-Undang inilah yang kelak disiapkan untuk mengatur segala hal mengenai ideologi Pancasila beserta institusi pembinaannya. Tafsir tunggal Pancasila.
Diproseslah RUU HIP dengan "strategi" pengajuan oleh DPR. Mungkin dengan maksud agar seolah-olah itu adalah aspirasi rakyat. Tapi strategi ini kurang jitu dan terlalu sumier karena :
Pertama, selalu yang dijadikan alasan adalah peningkatan status aturan BPIP dari Perpres menjadi Undang-Undang. Jadinya nampak bahwa kepentingan Pemerintah dominan. Aneh dan salah fikir. Mengapa institusi dulu yang dibuat baru peraturan ? Semestinya peraturan dahulu Undang-Undang misalnya baru lembaganya.
Kedua, proses hingga menjadi RUU tidak melibatkan komponen masyarakat. Terkesan dilakukan diam-diam. Artinya ada misi yang tak ingin diketahui. Akibatnya setelah menjadi RUU "meledak" lah unek-unek dan kejengkelan masyarakat. Menuntut adanya keterbukaan dan akhirnya "bongkar-bongkaran".
Ketiga, dengan dijadikan RUU ini sebagai inisiatif Dewan maka masuklah "penyelundupan ide" dari kelompok kepentingan. Nampaknya ada faksi kiri "soekarnois" di internal PDIP yang memanfaatkan momen pembuatan UU Haluan Ideologi Pancasila ini. Berlindung sambil menelikung.
Jika Pemerintah cerdas dan memang keperluannya adalah aturan untuk BPIP atau badan sejenisnya, maka tentu RUU datang dari Pemerintah saja. Sehingga aspek filosofis, yuridis, dan sosiologisnya akan lebih baik. Tidak ada penelikungan ideologis dari kader Partai di Dewan.
Tetapi memang nasi sudah menjadi bubur RUU HIP telah babak belur. Bukan langkah bijaksana untuk merevisi atau otak atik. Rakyat sudah memelototi bahkan mengultimatum. Opsi hanya satu yaitu cabut dan hentikan proses RUU ini.
Bila keberadaan BPIP dianggap merepotkan dan jadi kerjaan, maka segera bubarkan saja. Lumayan menghemat anggaran. Lagi pula Badan ini hanya "tempat bersantai"nya para "senior" saja.
Pemerintah dan DPR jangan sampai dipandang oleh rakyat sebagai lembaga kongkalikong yang pandai merekayasa. Apalagi urusan ideologi yang sudah melalui proses panjang dalam mencapai konsensus. Pemerintah dan DPR memang sedang salah fikir.
Rakyat sudah tahu bahwa RUU HIP bukan untuk kepentingan rakyat tapi untuk kepentingan Pemerintah dan kelompok kepentingan di PDIP.
Cabut dan batalkan RUU karena misi telah gagal. RUU HIP menjadi "sampah" bagi rakyat Indonesia. Mengambangkan hanya menunda datangnya bencana. Penolakan akan datang bergelombang. Dipastikan suara aspirasi akan semakin menggigit dan menyengat!