View Full Version
Selasa, 18 Aug 2020

Indonesia dan Masalah Moral

 

Oleh:

Nur Hidayah || Mahasiswi Unpad

 

SEJAK akhir Juli kemarin, dunia maya dihebohkan dengan berbagai foto-foto orang dibalut kain jarik layaknya mayat yang hendak dikuburkan. Foto-foto yang awal mulanya beredar di media sosial twitter tersebut disertai keterangan mengenai fetish berkedok penelitian.

Sang pengunggah foto, yang mengaku merupakan salah satu korban dari G, membagikan pengalamannya lengkap dengan tangkapan layar percakapan dengan pelaku. Setelah beberapa hari menjadi viral, polisi akhirnya berhasil menangkap G di kediamannya dan kini tengah melakukan proses hukum. Kabarnya, G akan dijatuhi hukuman 6 tahun penjara.

Peristiwa lain yang tak kalah viral di dunia sosial media adalah kasus pelecehan seksual yang dilakukan salah satu Youtuber Turah Parthayana. Turah yang sedang menempuh pendidikannya di Rusia itu dikatakan telah melakukan pelecehan seksual kepada teman seasramanya yang juga berasal dari Indonesia. Meskipun kasus ini terjadi pada tahun lalu dan sudah pernah ditindaklanjuti oleh PPI Rusia, namun kasus ini dibahas lagi setelah kesaksian korban dipublikasikan melalui media sosial Twitter.

Mundur ke beberapa bulan sebelumnya, dunia maya juga sempat dihebohkan dengan kasus pelecehan yang diklaim sebagai yang terparah di sepanjang sejarah Inggris. Bagaimana tidak, pelakunya, Reynhard Sinaga, pelajar asal Indonesia ini telah melakukan setidaknya 160 tindakan pelecehan seksual pada korban-korbannya yang seluruhnya adalah pria.

Dengan kedok ingin membantu korban yang sebagian besar sedang dalam keadaan kurang sadar akibat alkohol, Reynhard mengarahkan korban untuk pergi ke flat-nya. Di tempat itulah Reynhard kemudian melakukan aksinya sambil merekam melalui telepon genggamnya. Hingga kini, kepolisian Inggris masih terus melakukan penyelidikan mengenai kasus ini. 

Miris, sungguh miris. Di dunia yang katanya sudah serba canggih ini, dengan berbagai kesempatan menuju kemajuan termasuk dalam bidang pendidikan, kualitas moral manusia-manusianya tak menunjukkan hal linear. Di negeri yang katanya selalu mengedepankan nilai-nilai budaya dan agama ini, yang bahkan menjadikan keyakinan akan Tuhan sebagai pilar pertamanya, penerapan prinsip-prinsip itu mulai perlu dipertanyakan.

Makin hari, penampakan degradasi moral tak kunjung lenyap. Ada saja jenis-jenis kejahatan yang terus terjadi, meski berbagai upaya telah pula dilakukan oleh berbagai pihak, seperti pembuatan hukum-hukum untuk menimbulkan efek jera, perbaikan kurikulum pendidikan karakter, kampanye-kampanye pro-moral oleh berbagai aktivis sosial, dan lain sebagainya.

Upaya-upaya yang telah dilakukan seolah sia-sia. Ketiga kasus di atas contohnya. Padahal, jika kita telaah, ketiga pelaku kejahatan ini merupakan mahasiswa yang sering digadang-gadang sebagai “agent of change”. Status mereka sebagai mahasiswa seharusnya cukup membuktikan tingkat pendidikan dan kecerdasan intelektual mereka. Namun ternyata tak cukup untuk membuktikan kecerdasan moralnya.

Di sinilah kemudian kita perlu mempertanyakan lagi, apa yang salah dengan semua ini? Ketiga kasus di atas jelas belum semuanya. Kebetulan hanya tiga ini saja yang viral dan berhasil terungkap ke media.

Kembali lagi kepada pertanyaan, apa yang salah dengan semua ini? Ada banyak. Banyak sekali sampai tak mungkin disebutkan satu per satu. Setidaknya dalam kasus ini, yang paling berhubungan erat adalah mengenai kualitas pendidikan. Sejujurnya, tak sulit untuk menjawab bahwa pendidikan moral adalah solusi dari permasalahan ini dan banyak permasalahan lain. Sejujurnya pula, sebagai umat beragama yang telah dijamin dalam landasan idiil, kita juga tahu bahwa agama adalah penjamin moral manusia.

Jika menggunakan prinsip ini, jelas pendidikan Indonesia masih belum berhasil dalam memberikan pendidikan moral bagi rakyatnya. Bukannya melakukan penguatan pada nilai-nilai moral berbasis agama, pemerintah justru sibuk melakukan sekulerisasi pada kurikulum pendidikan, kurikulum moderasi contohnya.

Dari kebijakan ini, tampaknya pemerintah mendukung ungkapan bahwa agama tidak perlu diikutsertakan dalam setiap aspek kehidupan. Juga menganggap bahwa melibatkan agama dalam kehidupan hanya akan menjadikan kita radikal dan intoleran. Jika sudah begini, maka wajar saja jika penyimpangan-penyimpangan sosial yang dilakukan oleh orang-orang “terdidik” seperti di atas menjadi sebuah keniscayaan.

Walhasil, sangat diperlukan adanya perubahan sistem pendidikan yang bertujuan untuk membentuk pola pikir dan pola sikap yang berdasar pada keimanan agar terwujud masyarakat yang shalih dan beradab.*


latestnews

View Full Version